Oleh: Taqiyudin Topote (Ketua UKM Penelitian UNU Jogja)
Seperti umunya terjadi, ketika masuk ke perguruan tinggi, mahasiswa datang dengan segudang harapan. Menurut ekspektasi mereka, perguruan tinggi adalah jalan ideal mewujudkan impian mereka. Namun ketika mengeyam Pendidikan di perguruan tinggi, mereka akan mengalami dilema. Apa yang dibayangkan tidak sesuai dengan ditemui.
Dalam bayangan calon mahasiswa, menjadi mahasiswa akan terlihat keren. Belajar di kelas dengan gagah, ketika lulus semakin gagah dengan ijazah yang didapat, lalu menjadi orang penting atau setidaknya menjadi orang yang punya kerjaan dan hidup enak. Sayangnya, ketika sampai di bangku kuliah, mahasiswa disuguhkan dengan teori-teori, dijejali tugas, makalah dan laporan yang tak ada hentinya. Tidak jadi gagah, malah lesu.
“Tiada hari tanpa tugas” menjadi sambatan klasik mahasiswa. Hidup dihabiskan dengan membaca buku dan menulis laporan. Kalaupun bisa main, hanya kebetulan karna ‘nyolong’ waktu sekalian mengerjakan tugas kelompok. Ketika mahasiswa mengeluhkan banyaknya tugas, dosen akan dengan enteng menjawab, “tugas itu sebagai bagian dari proses pembelajaran”.
Ya, tugas bagian dari proses pembelajaran. Memang betul. Tapi pertanyaannya, relevankah tugas yang diberikan dengan kompetensi yang diharapkan? Sebab tak jarang, tugas diberikan hanya sebagai alasan untuk mengganti jam kuliah karena dosen tidak dapat menghadiri jam kuliah.
Jika demikian, dapatkah mewujudkan mimpi mahasiswa seperti ekspektasi mereka di awal kuliah? Kalau meminjam istilahnya Prof. Purwo Santoso, Rektor UNU Jogja, fakta yang demikian adalah pembodohan mahasiswa. Dan mirisnya, mahasiswa menerima pembodohan itu dengan gembira karena tidak perlu masuk kelas.
Sebagian mahasiswa yang punya ekspektasi tinggi di awal, kemudian akan berpikir, “dapat apa kalau cuma belajar teori di kelas-tugas-laporan begitu seterusnya?” Pertanyaan semacam ini lumrah dialami banyak mahasiswa. Pertanyaan inilah yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan turunan dan dilema tersendiri. Setelah itu dengan sendirinya mahasiswa akan terbagi menjadi dua golongan.
Mahasiswa golongan pertama, akan memilih jalan untuk patuh pada sistem pembelajaran yang menganut model kuliah di kelas – tugas – laporan. Mahasiswa jenis ini akan mendapat predikat sebagai mahasiswa yang ideal dan biasanya disukai oleh dosen. Waktunya dihabiskan untuk belajar dan mengerjakan tugas.
Sedangkan mahasiswa golongan kedua akan memilih jalan menjadi aktivis mahasiswa. Mahasiswa jenis ini berpandangan bahwa mahasiswa yang kerjaannya hanya kuliah dan nugas, minim jiwa sosialnya. Mereka dianggap apatis terhadap lingkungan. Karna itulah mahasiswa jenis kedua ini kerap membicarakan dinamika sosial di lingkungannya. Warung kopi menjadi tongkrongan favorit mereka. Bahkan mereka punya semboyan, “di warung kopi ribuan SKS tersusun rapi”. Tempat kuliahnya pindah ke warung kopi. Maka tak heran kalau mereka sering lupa masuk kelas.
Fenomena ini terjadi karena tidak adanya kesamaan frame antara mahasiswa dengan dosen, ditambah dengan sistem Pendidikan yang hanya merobotisasi mahasiswa, tidak memanusiakan mahasiswa. Artinya, mahasiswa hanya dijadikan sebagai objek pembelajaran bukan sebagai subjek pembelajaran. Memang sesekali mahasiswa diberi tugas untuk presentasi dengan maksud mengajarka mahasiswa menyampaikan materi kuliah. Namun menurut penulis, itu adalah kesalahan berpikir. Menurut hemat penulis, yang dimaksud menjadikan mahasiswa sebagai subjek yakni “menyuguhkan” materi kuliah sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Kembali meminjam pernyataan Prof. Purwo, beliau menyatakan bahwa seharusnya mahasiswa datang ke dalam kelas membawa permasalahan yang ditemukan di lingkungannya. Sehingga kuliah yang berlangsung adalah perkuliahan contextual based learnig atau pembelajaran berbasis kontekstual. Dengan pembelajaran semacam ini, perkuliahan yang berlangsung benar-benar sesuai dengan kebutuhan mahasiswa. Mereka akan menemukan ilmu pemacahan masalah yang disampaikan berikut teori-teori yang berkenaan dengan masalah tersebut.
Berkaitan dengan fakta diatas, UNU Jogja membangun sistem Pendidikan dengan langkah membalik logika yang dianut oleh perguruan tinggi pada umumya. Logika yang dipakai oleh perguruan tinggi pada umumnya adalah membekali mahasiswa dengan teori lalu menerjunkan mahasiswa ke lapangan untuk mengetahui permasalahan di masyarakat dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata (KKN), lalu mahasiswa diharuskan menulis skripsi sebagai bentuk rekaman pemahaman dalam mengkomparasikan antara teori yang didapat di kampus dengan persoalan yang ada di masyarakat.
Adapun system Pendidikan yang dianut oleh UNU Jogja yakni menerjunkan mahasiswa ke masyarakat (jamaah) sehingga mahasiswa menemukan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat, lalu membawa dan mendiskusikannya ke bangku kuliah. Sehingga materi kuliah yang diajarkan akan melatih mahasiswa untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat. Hal ini sejalan dengan status mahasiswa yang sering dibangga-banggaka oleh mahasiswa itu sendiri, yakni agent of change.
Laporan pemecahan masalah itu bukan hanya dalam bentuk skripsi. Kemajuan teknologi dapat dimanfaatkan untuk membuat laporan misalnya dalam bentuk audiovisual. Sehingga penelitian yang ada berikut berikut laporannya tidak hanya terkesan sebagai sebuah formalitas untuk memenuhi persyaratan lulus. Melainkan benar-benar menjadi rekam jejak sekaligus dapat dimanfaatkan dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas.
Dengan pembelajaran semacam ini, tidak akan ada Namanya mahasiswa ideal juga tidak ada mahasiswa aktivis. Semuanya aktivis dan semuanya ideal. Mahasiswa secara otomatis menjadi aktivis karena aktif dengan kegiatan di kelas dan di luar kelas. Juga semua mahasiswa menjadi ideal sesuai pandangan banyak orang karena tidak ada alasan untuk tidak masuk kelas dengan alasan takut apatis terhadap lingkungan. Sebab kuliah yang disuguhkan adalah jalan memecahkan masalah.
Model pembelajaran semacam ini belum banyak disadari oleh banyak pihak. Akibatnya Pendidikan yang berlangsung mirip hanya sebuah dagelan. Mahasiswa diperlihatkan atraksi dan teori-teori yang tampak menarik atau bahkan bisa jadi membosankan sama sekali. Untuk itu dosen dan mahasiswa perlu menyadari bahwa ruang kelas adalah sarana membangun forum berpikir. Jangan sampai tembok kelas menjadi pembatas berpikir. Sehingga Pendidikan yang ada bukan hanya memproduksi robot-robot bernyawa, akantetapi benar-benar memanusiakan mahasiswa serta mencetak cendekiawan dengan pikiran terasah dan nurani tertata rapi.
*credit foto (thumbnail): @sultanmahterserah