Oleh: Syaiful*
17 Agustus 2019, Indonesia genap berusia
74 tahun. Berbagai kemajuan telah diraih sepanjang perjalanan bangsa ini. Namun juga banyak pekerjaan rumah yang masih
menjadi tantangan. Antara lain, paham
radikalisme, nilai-nilai yang keluar dari Pancasila, civil society, dan masih banyak lagi. Semua itu terjadi kompleks di
dalam dinamika sosial dan berbangsa.
Pepatah kuno yang sering kita dengar:
pohon yang semakin tinggi maka akan semakin keras pula terjangan anginnya. Begitulah kiranya pepatah kuno yang bisa
menjadi humor atau bahkan motivasi hidup bernegara. Indonesia kedepan mempunyai
peta perjalanan yang senantiasa akan selalu dipelihara, dirawat dan
diperjuangkan. Indonesia emas tahun 2045 dan bonus demografi pada tahun 2030
merupakan nawa cita negeri ini.
Radikalisme adalah pekerjaan rumah yang
masih belum bisa diselesaikan. Bahkan layaknya seperti penyakit menular yang
semakin hari terus menyebarkan virus. Mewaspadai virus itu agar kita tidak
terkena adalah salah satu tugas penting
saat ini. Virus radikalisme lebih mematikan dari segala penyakit paling ganas
sekalipun. Jika penyakit medis hanya membunuh sebagian orang tapi radikalisme bisa membunuh seluruh bangsa
bahkan lebih miris lagi, virus itu bisa menghancurkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal itu bukan hal yang mustahil jika kita tidak melakukan tindakan
preventif dari sekarang. Beberapa tahun silam kita mencegah radikalisme agar
tidak masuk ke negara ini tetapi saat ini paham tersebut sudah berada di
tengah-tengah kita.
Tentu masih ingat di pikiran kita semua
pada beberapa tahun silam. Pemerintah membubarkan dan melarang adanya
organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau yang sering disebut HTI. Organisasi
yang mempunyai keinginan untuk mengganti ideologi Pancasila mejadi khilafah.
Secara administrasi hukum pemerintahan organisasi tersebut memang sudah tidak
ada. namun, secara ideologi bisa jadi masih bergerak di akar rumput.
Misalnya, mendirikan organisasi baru,
mendistribusikan kadernya di berbagai elemen sipil negara dan atau menyusup di
berbagai ormas islam. Bukan kekhawatiran yang berlebihan, jika apatur negara
diberikan materi pengukuhan ideologi pancasila.
Pancasila yang sudah disepakati menjadi
ideologi negara adalah suatu hal yang final. Nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya merupakan falsafah yang dinamis, kontekstual dan mampu menjadi pedoman
hidup bagi bangsa ini. Semua aturan hukum yang berlaku senantiasa haruslah
merujuk pada nilai-nilai yang termaktub dalam 5 sila yang ada. Gotong royong
menjadi sebuah azas pokok pada kandungan tersebut.
Menjiwai, meneladani dan
mengimplementasikan ruh Pancasila selalu dikampanyekan. Menjadikan Pancasila
sebagai bacaan wajib ketika upacara kebanggasan dan hari kemerdekaan. Tetapi,
hal mendasar dari pengamalannya masih jauh dari kata sempurna. Tidak sedikit
kaum pejabat dan kaum intelektual yang belum sepenuhnya hafal apalagi menyelami
nilai luhur Pancasila. Keprihatinan seperti itulah yang harusnya menjadi evaluasi bagi pihak agar bisa meningkatkan
kualitas dan mutu ideologisasi.
Sejarah telah mencatat bahwa peran NU pembentukan ideologi mempunya andil yang
cukup besar. NU juga meyakini bahwa ideologi Pancasila tidak bertentangan dengan
agama islam. Ketika negara terserang virus radikalisme, NU hadir di garda
terdepan untuk melawan radikalisme. Sudah menjadi tanggung jawab moral agar
senatiasa ikut aktif dalam memerangi paham yang bisa menghancurkan negara.
Penguatan ideologi Pancasila, mengekokohkan islam moderat dan mengkader
pemudanya agar bisa bersaing dengan yang lainnya.
NU tidak cukup hanya dengan semangat
pekikan “NKRI harga mati”. Sementara pos-pos strategis di pemerintahan NU belum
optimal mendistribusikan kader terbaiknya. Maksud dari ungkapan tersebut jangan
dipahami NU pragmatis, gila jabatan dan lainnya. Dengan adanya kader di posisi
elit maka akan memperkuat defence ideologi
Pancasila melalui berokrasi. Langkah pertahanan di lingkup birokrat begitu
stragis karena berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan keputusan yang mempunyai
dampak besar kepada masyarakat.
Dengan demikian, Pancasila perlu dijaga
dan dirawat dari paham radikalisme. Kader muda NU juga saatnya mengambil
langkah kongkrit. Pekikan semangat belumlah cukup jika tidak diimbangi dengan
strategi jitu. Kedalaman pemahaman keaswajaan dan keindonesiaan tidak hanya
menggelora ketika di pengkaderan organisasi NU. Namun, bisa mengejawantahkan pada
seni manajemen sumber daya manusia di luar kalangan sendiri. Dirgahayu
Indonesia yang ke 74 tahun. “Siapa kita? NU! Pancasila Jaya! NKRI harga
mati!”.
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi
Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta
Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta