Oleh: Syaiful*
Setiap tanggal 10 Dzulhijjah umat muslim
merayakan hari raya Idul Adha, dikenal juga dengan “Hari Raya Haji”, karena
kaum muslimin yang sedang menunaikan haji
menunaikan ibadah yang paling utama, yaitu wukuf di Arafah. Sesuai
syariah, mereka memakai pakaian serba putih yang tidak berjahit, yang dikenal
pakaian ihram, filosofinya ialah melambangkan persamaan akidah dan pandangan
hidup, mempunyai tatanan nilai yang konstruktif yaitu
persamaan dalam segala segi bidang kehidupan. Tidak dapat dibedakan, mereka
semuanya sederajat. Secara bersamaan tujuan mereka hanya ingin mendekatkan diri
kepada Allah sambil bersama-sama membaca kalimat talbiyah.
Di samping Idul Adha dinamakan hari raya
haji, juga disebut “Idul Qurban”, dimana pada hari itu Allah memberikan
kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi umat
muslim yang belum mampu menunaikan ibadah haji, maka ia diberi kesempatan untuk
berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan
kecintaan kita sebagai makhluk kepada Allah SWT.
Perayaan Idul Adha tidak telepas dari
pemotongan hewan qurban. Asal mula qurban dimulai ketika Nabi Ibrahim as
mendapatkan dari wahyu dari Allah agar menyembelih putranya Ismail yang pada saat itu sudah mulai remaja. Wahyu
didapat nabi Ibrahim melalui mimpinya. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang
nabi untuk melaksanakan perintah Allah. Nabi Ibrahim yang pada saat itu
mempunyai dua tugas pokok penting, sebagai Nabi Allah dan sebagai kepala rumah
tangga.
Selepas bangun dari mimpinya, nabi Ibrahim
AS menemui Ismail muda kemudian menceritakan wahyu Allah yang diterimanya
kepada puteranya Ismail. Ketika Ismail mendapat mendengar pernyataan ayahnya
lalu nabi Ismail rela dirinya dijadikan qurban. Begitu pasrah dan ikhlasnya Ismail
akan perintah allah. Selain memang merasa rela dan ikhlas dirinya disembelih
dia juga meminta ayahnya Ibrahim untuk menyampaikan salamnya kepada ibunya dan
meminta parangnya ditajamkan.
Itulah secarik sejarah awal mula qurban
bagi kaum muslimin. Hemat penulis, ada yang menarik dari sejarah tersebut. Nabi
Ibrahim dan Nabi Ismail mempunyai uswah leadership
yang jauh diatas orang pada umumnya.
Dimana nabi Ibrahim secara terbuka, jujur dan tegas menerima perintah Allah.
Begitupun dengan nabi Ismail yang sangat tabah dan sabar menerima perintah Allah.
Secara psikologis keduanya memiliki sifat ketundukan dan ketaatan.
Refleksi Uswah Leadership
Di dalam jiwa nabi Ibrahim dan Ismail
tertanam uswah leadership yang tidak
diragukan lagi. Kemampuan dalam menerima wahyu Allah ketika hadir dalam
mimpinya. Nabi Ibrahim yang juga sebagai utusan-Nya dapat memilih antara kabar
yang memang wahyu datangnya dari allah dan kabar yang hasutan dari syetan. Nabi
Ismail pun juga demikian, memiliki karakter yang tidak bisa dimiliki oleh
pemuda pada umunya. Di usia muda mampu menanggalkan egonya sendiri demi mencari
ridha-Nya. Itulah yang menarik kita tarik uswah dari sejarah awal mula ibadah
sunah berqurban.
Iman
Nabi Ibrahim dan nabi Ismail memiliki Iman
yang sangat tinggi. Terlihat dari responsibity
yang tanggap. Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa iman tidak cukup hanya sebagai
pembenaran hati, dan juga lisan. Tetapi juga harus disertai dengan perbuatan.
Di dalam QS An Nur ayat 47, Allah berfirman yang artinya: “kami telah beriman kepada allah dan rasul dan kami mentaati kedunya.
Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu
bukanlah orang yang beriman”. Seorang yang beriman juga bisa
mempresentasikan ibadahnya yang dilakukan sehari-hari sesuai dengan syariah.
Sehingga, menciptakan ketaatan beribadah yang fundamental dan masif.
Amanah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
amanah mempunyai arti sesuatu yang dipercaya (dititipkan) kepada orang lain.
Sederhananya amanah memiliki dua kompenen: pemberi amanah dan yang menerima
amanah. Amanah juga bisa menjadi manifestasi hubungan vertikal antara seorang
hamba kepada Allah (hablum minallah), hubungan
horizontal antara seorang hamba kepada hamba yang lain (hamblum minannash), serta hubungan hamba kepada lingkungan sekitar
(hablum minal alam). Peristiwa
terjadinya idul qurban juga memanifestasikan rasa amanah amat sangat besar yang
diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Visioner
Menjadi penentu arah sekaligus menjadi
teladan bagi lingkungan sekitar. Bukan hal yang mudah bagi seorang untuk
mengambil keputusan yang tidak populis namun penuh resiko. Keputusan Nabi Ibrahim
untuk menyembelih putranya adalah hal yang sangat beresiko. Selain itu,
kemampuan Ibrahim meyakinkan istrinya agar bisa merelakan Ismail untuk
dijadikan qurban. Dari situlah akhlak Ibrahim yang sepatutnya menjadi teladan
bagi keluarga dan juga umat islam.
Leadership
seperti itulah yang menjadi teladan bagi kita sebagai calon pemimpin muda
milenial. Mengambil hikmah dari sejarah qurban Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Seyogianya pemuda saat ini mempunyai jiwa pemimpin, khususnya untuk orang di
pemerintahan agar bisa mengambil ibrah sebagai pedoman memerintah serta sebagai
bentuk pengabdian kepada masyarakat. Melatih diri agar mempunyai keimanan yang
tinggi dalam memimpin, sehingga jauh dari perkara mungkar. Amanah dalam
menjalani tugas yang sedang diemban dengan tujuan kemaslahatan bagi orang di
lingkungannya. Terakhir memiliki visioner dalam mengambil tindakan agar
terukur, realistis sekaligus sesuai dengan kebutuhan yang berorientasi kepada
kemashlahatan umat. Semoga!
*penulis
adalah pengurus Himpunan Mahasiswa Akuntansi, juga aktif
di PMII UNU Yogyakarta dan anggota YOUNG LEADER Indonesia.
di PMII UNU Yogyakarta dan anggota YOUNG LEADER Indonesia.