-->
Kritik Hanya Untuk Orang Dewasa
Kritik Hanya Untuk Orang Dewasa

Kritik Hanya Untuk Orang Dewasa

Dalam banyak kesempatan, Prof. Purwo selalu mengulang-ulang pernyataan bahwa di UNU Yogyakarta menganut sistem pembalajaran problem based learning. Yakni pembelajaran berbasis analisis masalah. Artinya, mahasiswa mencari pemasalahan yang terjadi di sekitarnya kemudian mendiskusikannya dan mencari solusi atas masalah tersebut. Nah, ini LPM Nusa sedang melakukan itu (menemukan masalah, menganalisis dan mengajukan solusi), kenapa dosen harus merasa keberatan?...

Oleh: Taqiyudin Sholeh (Ketua UKM Penelitian UNU Jogja)

Membaca kajian LPM Nusa berjudul, “Cacatnya Sistem Administrasi Kampus Tercinta” membuat saya terkejut sekaligus salut. Kita seperti dilecut untuk bangun dari tidur lelap oleh sekumpulan orang militan yang berada di garis belakang. Kenapa saya sebut LPM Nusa sebagai sekumpulan orang di garis belakang? Sebab mereka adalah orang-orang yang tidak suka teriak di panggung seremonial semacam kongres dan festival yang minim kontribusi nyata. Mereka  lebih suka berbaur dengan mahasiswa mengumpulkan keluh kesah mereka, lalu meramunya dalam kajian dan mempublikasikannya. Dalam pandangan saya, langkah itu adalah tindakan jantan dan bermanfaat untuk bahan koreksi kita semua.

Hasil kajian yang tidak butuh waktu lama untuk viral itu, cukup memancing emosi civitas akademika UNU Yogyakarta. Bahkan ada salah satu dosen yang memberikan pernyataan seperti ini, “Seandainya kalian bayar tepat waktu, tidak akan ada ribet-ribet begitu. Sistem yang ribet itu memastikan kalian membayar tiap sebelum kuliah. Ada hak ada kewajiban”.

Saya kepingin ngakak guling-guling mendapati ada dosen berkomentar seperti itu. Saya kira sang dosen gagal paham atas isi kajian. Menurut pemahaman saya, inti kajian LPM Nusa memaparkan 3 hal. Pertama, mempertayakan apa urgensi (pentingnya) daftar ulang di kampus UNU Yogyakarta? Kedua, memaparkan keluhan mahasiswa tentang ribetnya proses daftar ulang. Ketiga, memberikan usulan sistem daftar ulang yang menurut mereka lebih memudahkan mahasiswa. Lalu kenapa sang dosen mengaitkan kajian yang semacam itu dengan mahasiswa yang telat membayar uang kuliah? Pernyataan itu bisa kita anggap sebagai tindakan mengkambing hitamkan mahasiswa yang telat membayar uang kuliah.

Izinkan saya mengupas sedikit kajian LPM Nusa. Terkait urgensi daftar ulang, LPM Nusa telah memaparkan bahwa sistem blok berbeda dengan sistem SKS. Mata kuliah yang akan diambil di semester depan telah ditentukan oleh dosen, mahasiswa tidak memilih sendiri seperti di sistem SKS. Dengan demikian, apakah salah jika LPM Nusa mempertanyakan apa urgensi aktivasi stastus kemahasiswaan yang formulirnya itu harus ditandatangani DPA dan Ketua Prodi?

Beberapa hari yang lalu saya berdiskusi dengan Prof. Purwo di Ruang Rektorat terkait kegiatan kemahasiswaan. Dalam kesempatan itu, beliau menyampaikan bahwa UNU Yogyakarta mendaulatkan diri untuk mengangkat sistem yang berbeda dengan kampus lain. Beliau mengajak untuk fokus melihat pada tujuan, bukan pada sistem. Kalimat beliau yang saya tangkap seperti ini, “Kita fokus pada orientasinya, mas. Jangan sampai kita melakukan kegiatan hanya meniru tradisi di kampus lain. Kalau memang tradisi itu tidak cocok dengan orientasi yang kita harapkan ya tidak usah dilakukakan”.

Meskipun diskusi kami saat itu membahas tentang kegiatan orientasi mahasiswa baru (ORMABA), saya kira pesan beliau yang bijaksana itu bisa ditarik pada metode aktivasi status kemahasiswaan. Jangan hanya karena di kampus lain harus daftar ulang setiap awal semester, kemudian UNU Jogja meniru hal yang sama. Kalau memang perlu dilakukan aktivasi status kemahasiswaan untuk mengetahui komitmen mahasiswa untuk lebih serius di semester berikutnya, seharusnya pihak kampus merumuskan sistem yang lebih mudah. Apa pentingnya harus minta tandatangan DPA dan Ketua Prodi segala? Kenapa harus merepotkan mahasiswa untuk datang ke kampus hanya untuk ke sana ke mari memburu tanda tangan DPA dan Ketua Prodi?

Saya kira usul LPM Nusa terkait sistem daftar ulang yang bisa dilakukan jarak jauh itu patut untuk diperhatkan. Sehingga yang perlu datang ke kampus hanya mahasiswa yang bermasalah. Misalnya karena pengabdian beasiswanya tidak memenuhi standar atau belum bisa melunasi SPP.

Kembali pada pernyataan dosen di atas yang terkesan menyalahkan mahasiswa, saya anggap itu dekat dengan sikap anti kritik. LPM Nusa melakukan kajian tidak hanya mengkritik sistem, tapi juga mengusulkan metode aktivasi stastus kemahasiswaan yang lebih mudah. Boleh diterima, boleh tidak. Lalu Kenapa harus disambut dengan sinis?

Dalam banyak kesempatan, Prof. Purwo selalu mengulang-ulang pernyataan bahwa di UNU Yogyakarta menganut sistem pembalajaran problem based learning. Yakni pembelajaran berbasis analisis masalah. Artinya, mahasiswa mencari pemasalahan yang terjadi di sekitarnya kemudian mendiskusikannya dan mencari solusi atas masalah tersebut. Nah, ini LPM Nusa sedang melakukan itu (menemukan masalah, menganalisis dan mengajukan solusi), kenapa dosen harus merasa keberatan? Ini saya yang salah paham atas pernyataan Rektor, atau dosen menolak sistem pembelajaran yang ingin diterapkan Rektor?

Selain itu, dalam mata kuliah penjaminan mutu, saya diajari quality control. Salah satu yang dapat meningkatkan kualitas mutu adalah dengan kontrol dan mengoreksi kekurangan sistem yang telah dijalankan. Ini LPM Nusa sedang melakukan koreksi terhadap sistem, kemudian mengajukan usulan yang menurut mereka lebih baik. Bukankah ini tindakan pengamalan materi kuliah? Kenapa harus disalahkan jika LPM Nusa mengamalkannya?

Saya sampaikan hormat untuk kawan-kawan LPM Nusa yang telah sacara obyektif mengkaji sistem aktivasi status kemahasiswaan di kampus tercinta ini. Kita semua harus belajar dewasa untuk menerima segala saran dan kritik. Kajian LPM Nusa akan dianggap seperti ujaran kebencian jika diterima dengan emosi, bukan dengan hati. Karena itulah civitas akademika UNU Yogyakarta perlu berbesar hati untuk memahami maksud kajian tersebut.

Apabila usulan LPM Nusa tidak bisa diterapkan, tidak masalah. Pihak kampus bisa mengadakan diskusi publik yang dapat dihadiri oleh seluruh mahasiswa. Kemudian sampaikanlah di sana alasan pentingnya aktivasi status kemahasiswaan. Sehingga seluruh mahasiswa bisa memahami. Dengan seperti itu, sinergi dan kerjasama antara pihak kampus dan mahasiswa akan tetap terjalin dengan baik demi kemajuan kampus tercinta ini.

Baca juga: