-->
Tanah Perdikan
Tanah Perdikan

Tanah Perdikan

Mereka masih ngotot untuk mendapat tanah-tanah kami. Segala bujuk rayu sudah diupayakan. Sebagian dari kami sedikit goyah dengan adanya iming-iming kemewahan dan pekerjaan yang menjanjikan. Tetapi, kami berpikir ulang, seadainya...


Oleh: Anas S. Malo



“Desa kabut?”

Ya, benar sekali Tuan, ini Desa Kabut. Desa yang diselimuti kabut-kabut tebal setiap harinya. Jika Tuan ke sini, Tuan akan mendapati sawah menghampar. Gunung-gunung hijau kebiru-biruan berlapis kabut-kabut putih.

Tuan akan selalu disambut oleh kicauan burung yang membuat hati Tuan tentram. Tuan juga bisa melihat tanaman-tanaman begitu subur, tumbuh bebas seperti belukar. Jika pagi, hawa dingin menyusup di tubuh Tuan–pemandangan terlihat sangat indah. Sejuk bila siang hari. Kami sangat bersyukur dengan anugerah ini.

"Apa yang bisa kami bantu, Tuan?" 

"Kami ingin bekerja sama dengan kalian."

"Maksud Tuan?"

"Kami bermaksud untuk bekerja sama dengan masyarakat setempat. Kami melihat sumber minyak yang melimpah di kampung ini. Maka, kami bermaksud untuk membeli tanah-tanah kalian. Kami akan membeli dengan harga yang mahal."

Kami agak terkejut dengan ucapan mereka. Saling pandang. Pak Dukuh menundukkan kepala sejenak. Kami bingung, untuk mengucapkan penolakan secara baik-baik. Sesaat kemudian, Pak Dukuh membuka kalimat dengan hati-hati, agar tidak menyinggung.

 “Sebelumnya kami mohon maaf Tuan, masyarakat di sini menggantungkan hidupnya sebagai petani. Jika Tuan membeli tanah kami, maka kami tidak bisa lagi bercocok tanam. Kami juga takut kualat dengan leluhur kami ” ucap Pak Dukuh.

Apa yang dikatakan Pak Dukuh benar. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani. Dan tidak bisa dipungkiri, bahwa kami takut kualat dengan leluhur kami. Leluhur kami sudah bersusah payah membangun desa ini. Kami selalu didengarkan hikayat leluhur kami yang bersembunyi di tempat ini dari kejaran tentara VOC. Mbah Sinare adalah salah satu dari leluhur kami yang  membabat tanah perdikan ini. Lambat laun banyak penduduk yang tinggal di tempat ini.

Mbah Sinare bekas telik sandi Kesultanan Mataram. Ia juga pernah menjadi murid Sunan Kudus. Setelah perang saudara Mataram dengan Pajang pecah, ia mengembara sampai perbatasan Tuban. Ia menemukan daerah kecil. Di tempat inilah, ia mendirikan gubuk. Berkat kesaktiannya, ia memagari tanah ini, sehingga hanya terlihat kabut-kabut yang melayang-layang, supaya tidak terlihat oleh tentara VOC. Ia mengatakan, tempat ini aman dari tentara VOC. Sampai saat ini kabut-kabut itu masih ada, meski VOC telah pergi.

***

Mereka masih ngotot untuk mendapat tanah-tanah kami. Segala bujuk rayu sudah diupayakan. Sebagian dari kami sedikit goyah dengan adanya iming-iming kemewahan dan pekerjaan yang menjanjikan. Tetapi, kami berpikir ulang, seadainya tanah-tanah kami dijadikan pertambangan minyak, maka kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali merasakan kemewahan yang hampa. Kami tidak bisa merasakan lagi kesejukan Desa Kabut. Semua keindahannya berangsur-ansur akan memudar, berganti dengan mesin-mesin, pompa-pomba raksasa, pipa-pipa besi.

Padang gembala berganti dengan camp-camp pegawai pertambangan. Hawa yang semula sejuk berganti dengan hawa panas menyengat. Dan, tidak ada lagi kabut-kabut yang biasanya melapisi jalan-jalan berbatu dan menutupi gunung-gunung di belakang desa kami. Bahkan, ikan-ikan di sungai enggan berkembang biak.

Kami juga mempertimbangkan segala kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika lahan pertanian di Desa Kabut beralih fungsi, maka kami tidak bisa lagi bercocok tanam. Setelah kami pikir masak-masak, kami sebetulnya tidak memerlukan pembangunan-pembangunan itu dengan tawaran yang menggiurkan. Sebagian besar penduduk sepakat untuk mempertahankan Desa Kabut dengan lahan pertanian dan berbagai keindahan alamnya yang menakjubkan.

Biarkan bocah-bocah tetap berkembala dengan kambing-kambingnya. Biarkan mereka berkembala dengan kerbau-kerbaunya di padang gembala. Biarkan ada yang tetap memancing ikan di sungai, menangkap belalang di sawah. Dan biarkan mereka tetap merasakan kesejukannya.

Beberapa hari berselang, orang-orang bermobil itu datang lagi untuk mengadakan kesepakatan. Kami menemuinya dan menyambutnya dengan ramah, seperti melupakan persoalan yang terjadi. Memang begitulah adat kami. Setiap ada tamu yang datang, kami akan menyambutnya dengan baik. Tidak mempersoalkan niat baik atau buruk tamu yang datang. Berprasangka baik, akan mendapatkan hasil yang baik pula. Itulah ajaran leluhur kami. Tamu-tamu dari kota itu dipersilakan bertamu di rumah Pak Dukuh. Ada beberapa orang dari warga yang ikut dalam pertemuan itu.

"Sudah dua kali kami berkunjung ke Desa Kabut. Dan kami selalu takjub dengannya. Kedatangan kami yang kedua kalinya dengan maksud yang sama dengan kedatangan kami sebelumnya. Apa kalian sudah berubah pikiran? Kami berharap, pikiran kalian akan berubah menjadi lebih tenang dan luas."

"Tentu saja Tuan, pikiran kami tetap tenang dan luas. Bila tidak tenang dan luas, kami mungkin akan memberikan tanah-tanah kita untuk dijadikan pertambangan minyak. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kami takut kualat dengan leluhur kami. Dan, seandainya kami menjual tanah-tanah kami, kami bingung untuk membelanjakan uang tersebut. Sebagian besar penduduk menggantungkan tanah-tanahnya untuk bertani. Sebagian dari kami tidak bisa memanfaatkan uang tersebut menjadi modal bisnis," ucap Pak Dukuh.

“Kalau pun, kami bisa bekerja di pertambangan, itu membutuhkan ijazah, sedangkan pendidikan kami rendah,” sambung salah satu dari warga.  

Tuan-tuan dari kota kemudian memberikan kesan yang tidak baik dari raut wajahnya. Padahal kami sudah menjelaskan alasannya dengan baik. Beberapa kali menghela napas panjang. Salah satu dari mereka mencoba untuk menenangkan yang lain. Ia berusaha bicara dengan tenang.

"Begini saudara-saudara sekalian. Kami tetap mengutamakan kesejahteraan kalian. Dengan proyek yang akan kami bangun, warga bisa akan mudah untuk mencari pekerjaan. Dan dengan pembangunan tersebut, maka untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, penting dilakukan pembangunan pertama itu. Jangan khawatir akan kesejahteraan kalian. Kami akan menjaminnya. Lagi pula tanah-tanah itu adalah milik negara."

Kami saling pandang. Tidak peduli. Kami sudah terlalu biasa dengan situasi seperti ini. Kami sudah sering menghadapi mulut-mulut manis orang-orang itu. Mungkin itu sebuah kesia-kesiaan. Kami tak mungkin terpengaruh. Kami paham, mereka pasti kesal. Dari raut wajah mereka, sudah jelas,  jika mereka menyembunyikan rasa kecewa. Tapi, kami tidak bermaksud untuk membuat mereka kecewa. 

"Baiklah kami akan kembali, tapi tidak ada alasan untuk menghalangi pembangunan. Kami sudah memiliki izin untuk itu dan pemerintah daerah sudah menyetujui. Mesin-mesin berat akan tiba Minggu ini," ancam salah satu dari mereka.

Mendengar gertakan mereka, kami semakin muak dengan tamu-tamu itu. Salah satu dari kami bangkit berdiri dan mengusir dengan hormat. Kami tetap menahan amarah. Tetapi kami terbayang ucapan itu. Setelah tamu-tamu itu pergi, kami langsung membicarakannya di tempat itu juga.

Jika mereka benar-benar melaksanakan niatnya, apa yang bisa kami lakukan. Kami tidak ada daya untuk menghalangi mereka. Kalau pun ada gerombolan mahasiswa dan aktivis lingkungan yang menghadang, tetap saja, tidak berhasil. Tetap saja pembangunan itu akan dilaksanakan.

Sejumlah media massa sudah mengabarkan bahwa di Desa Kabut akan digusur. Warga, sejumlah mahasiswa dan beberapa aktivis lingkungan turut menghambat proses pembangunan. Mereka membakar ban sebagai bentuk protes.

Mereka dan warga saling dorong dengan polisi. Bentrokan tak terelakkan. Polisi melempar gas air mata. Para warga dan mahasiswa melempari polisi dengan batu dan serpihan kaca mobil polisi. Kabut-kabut hitam menggumbal. Suasana semakin mencekam. Beberapa warga dan mahasiswa babak belur. Tetapi itu tidak cukup. Polisi berhasil mengkondisikan para pengunjuk rasa.

Beberapa titik lokasi dipagari pembatas polisi. Kami hanya bisa melihat dari jauh saat para para pekerja mulai menggerakkan alat berat. Sawah yang selama ini menghidupi kami sudah hancur. Kami pun tak bisa berbuat apa-apa, kecuali pasrah dengan keadaan. Desa Kabut yang semula berlapis kabut-kabut tipis berupa menjadi kabut hitam membuat langit menggumpal menggulung-gulung. (*)

Sudah pernah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat

Thumbnail: Pixabay

Baca juga: