Oleh: Syukron Makmun
Mahasiswa Prodi Manajemen UNU Jogja
Di tahun 2020 Ini sudah sekitar 1441 kali kita sebagai umat Islam kembali di perjumpakan dengan malam dan hari mulia (Idul Adha). Sangat senang sekali rasanya, apalagi pada kali ini saya berkesempatan ikut berkecimpung dan memeriahkan pagelaran lomba gema takbir yang di adakan oleh pondok tempat saya menuntut ilmu. Lomba—yang di ikuti oleh santri-santri tanpa memandang perbedaa umur—itu berlangsung khidmat, tentu tujuan implemintasi kebahagiaan menyambut Idul Adha adalah yang kami (santri) maksud.
Dalam penampilan yang kesekian kalinya,
saya tertegur mendengar puisi yang disampaikan oleh salah satu angota penampil.
Sangat mellow sekali puisi itu,
pasalnya puisi yang bukan sekedar puisi melainkan mengandung pesan tersirat
yang disampaikan dengan oleh vocal rapipun mampu menghidupkan karakter puisi
dengan sangat apik. Berisi perihal kearifan dan keluhuran sosok bapak bernama Ibrohim
A.S dalam bersikap kepada anaknya yang bernama Ismail yang terjadi sekian ribu
tahun lalu.
Tentu kisah ini booming sekali di telingan kita. Kisah yang tak hanya sekadar mengandung himpunan peristiwa lengkap dengan oknumnya, melainkan shirah atau sejarah yang erat hubungannya dengan momen Idul Adha itu juga mengandung peristiwa sejarah penuh makna edukatif dan layak diabadikan sebagai sarana “cultural memory” dan peroses intrnaisasi moralitas, yaitu : perlunya menghormati nilai nilai kemanusiaan, larangan berbuat jahat kepada sesama, dan merendahkan harkat martabat manusia (dehumanisasi). Karena berbuat dhalim, menyakiti, dan berbuat kasar apalagi membunuh manusia, sangat dilarang agama Islam.
Bisa dikatakana Idul Adha juga layak
menjadi rujukan bagi orang tua agar bisa meneladani kembali nabi Ibrahim A.S,
terutama kiat kiat beliau yang sukses mendidik anaknya.Tak kalah penting juga khazanah
ini layak sebagai rujukan pendidikan karakter bagi generasi melenial yang
terkenal dengan turbulansi moralitas. Sebuah era keprihatinan mayoritas orang
tua modern, akibat dampak negatif globalisasi yang telah mengubah karakter
generasi muda jauh dari nilai nilai agama.
Dimasa ini kebanyakan anak muda sekarang
lebih cenderung bersikap pragmatis-hedonis-individualis, dan terseret ada
aliran aliran yang tak sesuai dengan idiologi dan merusak kebudayaan leluhurnya.
Terbukti Ibrohim A.S berhasil menggembleng pribadi Ismail muda mempunyai sikap
ketaatan, kelembutan dan spiritualitas tinggi. Sehingga sebagai anak Ismail
bisa “mikul duwur mendem jero” atau bisa memuliakan orang tua dan menghormati
teradisi yang berkembang.
Ya! Benar sekali, harusnya khazanah ini menjadi
konsumsi di ruang-runag keluarga milenial, menapaki jejak kedua insan kekasih
allah SWT meski kian hari potret kehidpan
sudah melemahkan pola pendidikan moyang yang luhur itu, akan tetapi bukankah di
budayakannya moment Idul Adha memang dirancang khusus untuk
hajatmenyampaikanpesen mulia ini(?)