*Oleh: Hanif Pratunggal
Saya harus mohon maaf karena menulis tulisan yang mungkin akan membuat jidat mengeryit pada hari Minggu. Ini adalah tindakan yang tidak "empan papan". Seharusnya tulisan hari Minggu adalah yang asyik-asyik saja seperti ajakan minum kopi atau malah jalan-jalan dengan ayang. Dengan tetap meriskir untuk "merusak" akhir pekan kalian perkenankan menuliskan renungan ini.
Malam tadi saat berselancar di dunia Maya tanpa sengaja saya menjumpai salah satu laman kampus tercinta UNU Jogja. Sekaligus hal itu telah berhasil membuat fokus saya terdistraksi untuk beberapa menit selanjutnya. Di laman itu saya menjumpai redaksi yang mungkin saja itu sudah sangat familiar di kalangan mahasiswa UNU Jogja karena selalu disampaikan dengan ekspresi penuh kebanggaan pada saat penerimaan mahasiswa baru (PMB).
Jadi, "kurikulum pembelajaran di UNU didesain sesuai dengan kebutuhan industri" sengaja saya kutip langsung redaksinya biar tidak ada kesalahpahaman dan tuduhan dinama-nama. Saya mencoba mengeja untuk tidak lancang mengatakan membaca proposisi di atas (silahkan dikoreksi jika salah) bahwa semua kegiatan riset harus dilaksanakan dalam spirit "hilirisasi", maksudnya, semua kegiatan riset dan arah pendidikan tinggi (UNU Jogja) diarahkan untuk mengabdi kepada kepentingan industri dan pasar dalam bahasa yang lebih halus "menjadi sekrup industri".
Selain itu, diusahakan agar kampus tidak jauh-jauh dengan kawasan industri sehingga semua penelitian dan arah pendidikan bisa langsung dipraktikkan di industri. Dan itu sepertinya memang wajar-wajar saja. Mengingat bahwa Indonesia bukan negara bagi siapa pun yang memiliki kecerdasan untuk bergelut dengan ilmu-ilmu murni. Di negeri ini, pendidikan bukan untuk mengembangkan potensi manusianya, tapi untuk menghamba kepada industri dan pasar. Peserta didik tak dipandang sebagai manusia yang harus dikembangkan potensi bawaannya, tapi cuma untuk menjadi sekrup industri. Karenanya, bagi yang memiliki bakat jadi ilmuwan, ada salah satu nasihat dari Ariel Heryanto. Jadi, menurutnya Indonesia tidak pernah kekurangan orang cerdas. Ini terbukti dari prestasi akademis remaja kita di forum internasional. Semangat belajar beberapa mahasiswa kita mengagumkan. Namun, ketika berangkat dewasa, bergelar sarjana, masuk pasar kerja, mereka tidak menemukan lingkungan dan lembaga yang mendukung kecintaan kepada ilmu. Bakat dan kecerdasan mereka hanya bisa tersalur di dunia industri, politik partai, atau acara televisi. Pilihan lain: menekuni ilmu pengetahuan di luar negeri.
Mahasiswa idealis, jadi aktivis ikut pergerakan Nganu dan Menggeluti ilmu? Ah, omongan macam apa itu? Sejak kapan mahasiswa idealis, aktivis dan pemahaman akan ilmu bisa memberi kehidupan yang layak? Pendidikan bukan untuk mencari ilmu, tapi untuk melanggengkan mentalitas kuli.
Memang tidak mudah. Kita terlanjur harus menyeret beban sejarah yang payah. Sejarah panjang manusia yang terjajah. Pendidikan awal yang kita kenyam adalah pendidikan untuk melahirkan pegawai administratif murah bagi pemerintah Belanda (meski Belanda menganggapnya sebagai tindakan 'balas-budi' terhadap Indonesia). Sedang setelah merdeka pun pendidikan segera diterkam oleh kepentingan politis. Pada era Orde Baru lebih kentara lagi bahwa pendidikan diperlakukan sebagai sarana pengembangbiakan kontrol politis secara sistematis demi melestarikan status quo. Serentak pula ia merupakan pabrik suku-cadang bagi struktur raksasa kapitalisme global. Demikian sejarah pendidikan kita adalah sejarah pelestarian mentalitas kuli secara sistematis."
Menyimak tujuan kampus UNUYO di atas, saya teringat gagasan dari Theodor Adorno dan Mak Horkheimer, di dalam buku mereka Dialectic of Enlightenment, mengatakan bahwa ketika segala sesuatu (termasuk pendidikan tinggi) terperangkap di dalam sistem komersial, maka ia akan terpenjara pula di dalam apa yang disebutnya industri kebudayaan. Adorno & Horkheimer menggunakan istilah ini untuk menjelaskan fenomena Fasisme pikiran, yaitu pengaturan masyarakat dan pikirannya secara sentral dari atas, serta penyeragaman pikiran mereka lewat berbagai media massa dan komoditi. Industri kebudayaan merupakan satu bentuk pengomandoaan masyarakat dari atas, layaknya Fasisme. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adorno & Horkheimer, “setiap orang harus bertingkah laku sesuai dengan kondisi yang telah dirancang dan ditetapkan untuk mereka sebelumnya.” Bagi Adorno & Horkheimer, industri kebudayaan tak lebih dari sebentuk baru dehumanisasi lewat kebudayaan, satu bentuk kekerasan budaya.
Meskipun Adorno & Horkheimer melihat fenomena pengaturan (pikiran, tindak tanduk, selera, gaya hidup) masyarakat secara sentralistik dan totaliter ini di dalam masyarakat konsumer, akan tetapi pola-pola yang sama juga berlaku di dalam dunia pendidikan, sebagai alat ideologi negara maupun sebagai alat ekonomi. Dalam hal ini, pemaksaan pendidikan tinggi untuk menghasilkan lulusan yang hanya siap berkerja di industri (link and match) merupakan sebentuk kekerasan budaya. Sistem pendidikan memaksa setiap orang menjadi pekerja, menjadi sekrup di dalam mesin industrialisasi. Struktur pendidikan seperti ini hanya akan menghambat mental kepeloporan, kepemimpinan, dan kewirausahaan mentalitas yang justru sangat penting dalam membangun manusia-manusia pembangun di dalam masyarakat yang sedang berkembang seperti Indonesia."
Ah, ini cuma corat-coret tak berarti, sebagaimana yang sering dikatakan PU saya, bahwasanya saya masih terlalu bocah dan ingusan untuk urusan seperti ini. Namun, besar harapan semoga saja kampus UNU Jogja masih mau memihak kepada pengembangan ilmu murni dan bukannya ikut menghamba kepada industri dan pasar.
Penulis adalah Kuli tinta di LPM Nusa, angkatan 2021