Senin (13-03), Natas menggelar diskusi Publik bertajuk "Nasib PRT tak kunjung disahkan: Nasib para pekerja yang masih Rentan" melalui ruang virtual yang menghadirkan tiga pembicara sekaligus Pito Agustin Rudiana atau Pito Goestin dari Alinasi Jurnalis Independen Yogyakarta, Jumiyem dari SPRT Tunas Mulia dan pekerja rumah tangga.
Diskusi publik ini adalah sebuah uluran tangan dan panggilan kepada semua elemen, Publik, Jurnalis, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan semua lapisan masyarakat Indonesia untuk turut melihat, dan menyuarakan kembali kondisi dan nasib para pekerja rumah tangga yang selama 19 tahun lamanya mereka selalu bekerja di bawah bayang-banyang kekerasan, eksploitasi, pelecehan seksual hingga berujung pada kekerasan seksual.
19 Tahun, tepatnya pada tahun 2004, mereka mengemis dan meminta sebuah payung hukum yang kemudian hal itu dirumuskan dalam Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Namun hingga saat ini belum ada kejelasan dan kepastian tentang RUU PRT tersebut. Pito Goestin sebagai pemateri pertama dalam diskusi Publik ini sangat menyayangkan sikap DPR, sebagai Dewan Perwakilan Rakyat harusnya mereka tidak menutup telinga dan mata pada permohonan tersebut karena setiap kali diminta dan didesak untuk mensahkan, DPR selalu bergeming dengan dalih masih perlu pengkajian, pendalaman lagi. "lalu pertanyaanya selama 19 Tahun DPR ngapain aja?" Ujar Agustin.
Padahal berdasarkan data dari bisnis.com jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang 75,5 persen di antaranya adalah perempuan dan 25 persen-nya adalah anak-anak. Tentu saja angka ini tidak sekecil gaji PRT berikut diskriminasi dan eksploitasinya. 19 Tahun ibu-ibu dan remaja di bawah umur bekerja tanpa jaminan kesehatan, tidak diakui sebagai pekerja, kalau pun diakui ia sebagai pekerja informal dan RUU-PPRT ini dianggap sebagai persoalan yg tidak penting di meja legislatif.
Selain pejabat pemerintahan, ada beberapa elemen yang juga disoroti oleh pemateri pertama yaitu Jurnalis dan media, ia menyampaikan beberapa data yang diperolehnya dari laman conde.com menurutnya, Pemberitaan RUU PPRT di media masih minim. Data dari conde.com menunjukkan, jumlah berita yang diterbitkan adalah sebagai berikut: Kompas.com menempati jumlah penerbitan tertinggi (6 berita), Liputan6.com (3 berita), kemudian diikuti Tribunnews.com (1 berita), Detik.com (1 berita), Suara.com (1 berita), Sindonews (1 berita), Merdeka.com (1 berita), Okezone.com (1 berita), Kumparan.com dan Grid.id (tidak ada berita).
Temuan riset di atas menyimpulkan bahwa pemberitaan isu PPRT masih sangat minim. Ini menunjukkan bahwa isu RUU PPRT belum menjadi agenda yang penting di media massa. Selain itu, DPR sebagai subjek persoalan justru mendapatkan ruang pemberitaan yang lebih besar dibandingkan para pekerja rumah tangga yang terdampak langsung dari RUU PPRT.
Menurut Agustin dibutuhkan lebih banyak lagi tenaga dan bantuan media untuk mengangkat isu ini, diperlukan jurnalis yang konsern dalam isu ini, sebab jika tidak expert ia akan mudah hanyut dalam asumsi yang berbeda dan topik-topik yang lainnya. "Harapannya isu ini bisa terus disuarakan dengan solid dan konsisten oleh pers Mahasiswa sehingga menjadi isu yang besar dan penting untuk diliput oleh semua media" Ungkapnya.
Masalah lain yang berusaha diperlihatkan kepada peserta diskusi adalah pola dari isu PRT menurutnya, kasus ini dulu sudah pernah booming diliput dan dibicarakan media dan komunitas lainnya. "Tapi apakah harus terus-terusan demikian, Kita tidak mungkin terus-terusan menunggu korban lagi, menunggu viral kembali untuk menulisnya, kabar buruknya kita selalu terjebak pada pola seperti ini," Tandasnya.
Penulis | Ibrahim | Editor | Hanif Pratunggal