-->
Kegelisahan Eksistensi
Kegelisahan Eksistensi

Kegelisahan Eksistensi

Aku tidak tau apa yang ku inginkan dalam hidup ini. 

Kepalaku tak ubahnya cerobong pabrik saja. Menyambar-nyambar, di angkasa di antara kepulan asap gelap dan bunyi memekkan.


Aku tidak tau apa yang ku inginkan dalam hidup ini

aku selalu kembali pada sebuah kehampaan dan bayang-bayang ketakutan.


Penggalan puisi di atas adalah patahan dari bait-bait puisi yang berhasil hamba pungut dari banyak hal yang tercecer dan berserakan dalam hidup. Susunan kalimat-kalimat di atas paling tidak berhasil menggambarkan sesosok mahasiswa yang mengalami kondisi kehampaan.

Sebuah kondisi ketika kehidupan menjungkir balikkan sejuta angan yang memenuhi alam pikirannya saat benar-benar berbaju aktivis. Setumpuk rencana, program dan kegiatan seakan melengkapi tampilannya yang disebut "Pemuda Idealis". 

Keterlibatannya di dalam berbagai peran dan forum, selalu memantik pribadinya untuk tampil sebagai generasi pegiat. Darah mudanya meledak-meladak mengepulkan asap dan bunyi lantang dalam dirinya, sehingga tak sedikit kegiatan diikuti dan bahkan seringkali menjadi bagian penyelenggaranya. Kalimat-kalimat yang diungkapkan selalu saja dihiasi dengan kata-kata populer lagaknya kaum terpelajar yang ilmiah dan cendikia. 

Poligami Organisasi dirasa belum cukup, buku-buku tebal dengan judul keren selalu diapitnya, tas melingkar di tubuhnya menambah prestise dia sebagai mahasiswa.

Pandai bersilat lidah ketika muncul di forum kelas, diskusi komunitas atau di manapun debat-debat terjadi merupakan ajang ekspresi diri. Dominasinya di atas rata-rata audiens kentara sekali menjadi sebuah bukti bahwa ia mahasiswa yang suka melontarkan wacana. Referensi dari para ahli menjadi cara kreatif di tengah-tengah sekian pendengar, walau terkadang ia sendiri tak begitu paham sumber aslinya. Alih-alih membuat mengerti sejawat, diri sendiri saja acapkali berulang memaknai apa yang dilontarkan dari mulutnya.

Demam panggung terlihat juga dalam dirinya ketika berada di mimbar bebas. Berkoar-koar di depan gedung lembaga negara, instansi, turun ke jalan atau malah di halaman kampusnya dengan mengusung dan menyuarakan aspirasi semua lapisan serta berdalih demi kepentingan umum.

Tentu terdapat hikmah di balik segala sesuatu. Profil mahasiswa yang demikian, tentu dengan mudah membuat banyak dosen mengenal pribadinya bahkan namanya seringkali disebut di berbagai kesempatan, meskipun terkadang sosoknya menjadi "korban" sasaran tudingan dari segala macam peristiwa dan kejadian yang meletup walau sejatinya sama sekali ia bukan tokoh di belakang layar apalagi tampil sebagai korlap (koordinator lapangan). Bagi tipe mahasiswa yang seperti dia, disadari betul bahwa kondisi itu merupakan risiko pergerakan yang harus diterima, suka ataupun tidak.

Dalam hal finansial, perilaku dari mahasiswa model ini yang paling lumrah ialah ia akan tampil sebagai pribadi yang royal; menyuguhkan dan memberi hal-hal yang ia memiliki tanpa berpikir panjang, tetapi ia gampang menganggap nalar dan prinsip pertemanan dalam keuangan para sahabat tidak jauh berbeda dengan dirinya, yaitu milikku adalah kepunyaanmu juga, sebagaimana kau jangan enggan memberi seperti aku tidak segan-segan menampik permintaanmu. Pada titik ini, pelajar pergurun tinggi semacam ini supel berdekatan dengan siapapun, jaringan pergaulannya tanpa batas dan sekat, dan biasanya tak pernah kehabisan amunisi di manapun berada.

Belum lagi soal pencarian dana untuk membiayai perhelatan sebuah kegiatan, anak muda ini cukup jago bila dipasrahi mengais rupiah. Menuat proposal dengan segala macam administrasi yang diperlukan; mulai dari seluruh kebutuhan tanda tangan, nama-nama dalam struktur kepanitiaan, mengetahui siapa-siapa saja sampai stempel yang akan dijadikan cap dalam surat permohonan beserta lampirannya. Walhasil, aktivis ini sangat piawai menyusun lembaran proposal, menyebarkan sekaligus menagihnya. Ia memang lihai melakoni peran "Mengemis terhormat".

Meskipun mahasiswa tipe ini cukup gesit di dalam dinamika dan aktivitas kegiatan di berbagai organisasi, bukan berarti ia tidak cukup lincah memancing tangan cewek untuk digandeng. Memang, pada soal percintaan, gelagat agresif tidak begitu tampak dalam dirinya tak seperti gaya mahasiswa yang kehidupannya hanya melingkar di antara ruang kelas dan kamar kos belaka. Cuma sebab mobilitas yang begitu tinggi di dalam berbagai kegiatan saja yang menyebabkan urusan asmara tak terlalu dihiraukan.

Aku tidak tau apa yang kui nginkan dalam hidup ini... 
aku selalu kembali pada sebuah kehampaan dan bayang-bayang ketakutan. 

Sekelumit potongan puisi ini menutup tulisan penulis. Sepenggal puisi ini mengabstrakkan sejuta rasa yang berkecamuk dalam diri seorang mahasiswa yang digambarkan dalam puisi tersebut. Kebimbangan, keresahan, kegelisahan, kegamangan dan beragam perasaan menumpuk di dalam pikirannya. Upacara wisuda yang dia ikuti membuka aliran rasa galau semakin deras dalam kalbunya. Satu pertanyaan yang meletup-letup: "Kemanakah diri ini?" Yang bahkan tak mampu untuk dijawab oleh dirinya sendiri.

Rupanya problematika dan tantangan yang mencuat di tengah lingkungan masyarakat belum pernah dibayangkan sebelumnya. Orang-orang desa asalnya hanya menagih dia agar tahlilan, dan Yasinan di jam'iyah kampung, selametan tujuh atau empat puluh hari, memimpin acara haul, khotmil Qur'an, shalat lima waktu diimami, dan pada khutbah Jumat ia turut mengisi. 

Cukup sederhana tuntutan mereka, tetapi jebolan perguruan tinggi itu menjadi kelimpungan karena bekal ke arah itu kurang memadai. Ternyata segudang pengalaman berorganisasi tak bisa lagi dibuat kebanggaan diri, gelar sarjana hanya menjelma sebagai imbuhan nama asli, dan selembar ijasah cuma berguna sebagai kertas penghias di lemari. Kini, pemuda yang konon katanya kaum terpelajar, mahasiswa idealis, dan aktivis organisasi itu benar-benar menjadi sosok generasi yang belum temukan jati diri. (*) 


Hanif Muslim, kuli tinta di LPM Nusa, mahasiswa Program Studi Studi Islam Interdisipliner Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta



Baca juga: