-->
Romantisme Relasi Gender dalam Teologi dan Kosmologi Islam
Romantisme Relasi Gender dalam Teologi dan Kosmologi Islam

Romantisme Relasi Gender dalam Teologi dan Kosmologi Islam


Prof.   Fredrich   Heiler,   dalam   kuliahnya   di   Marburg,   amat   senang   mengutip pernyataan seorang indolog Jerman, Moriz Winternitz, bahwa, “wanita selalu menjadi sahabat agama, tetapi umumnya, agama bukan sahabat bagi wanita.” Pernyataan itu semakin mendapati kebenarannya jika dikaitkan dengan kajian Islam dan posisi wanita dalam agama yang lahir

14  abad  silam  tersebut.  Peristiwa  kekinian  dan  banyak  isu  menyangkut   wanita  pun bertebaran,  sebagai  saksi  untuk  menguatkan  pernyataan  Moriz  di  atas.  Potret  mengenai peran  wanita  dalam  perang  pembebasan  Turki  pada  awal  1920-an  atau  partisipasi  aktif wanita dalam gerakan kemerdekaan India dan perjuangan Pakistan pada 1940-an, adalah beberapa  contoh  sebaliknya  yang  dilupakan  banyak  orientalis.  Memang  lebih  mudah mengkaji Islam sebagai fenomena gunung es, dibanding upaya menyingkap dasar terdalam yang boleh jadi akan mengejutkan setiap orang yang mencobanya.

Feminisme pun menetas, untuk menuntaskan permasalahan yang ada. Karena agama dianggap tidak membela mereka, tak jarang, filsafat eksistensialisme Sartre yang dijadikan sebagai landasan pikirnya. Mulai dari upaya liberal, moderat atau radikal, feminisme memperjuangkan  emansipasi  wanita  yang terlalu sering dinodai  oleh para  begundal  dan pendekar berwatak jahat bernama sistem partriarki.

Tulisan ini hadir bukan untuk menyoal sejarah, epistemologi atau rapuhnya filsafat mereka, namun penguatan argumentasi dan konsep feminisme sebagai hal yang niscaya dan fitrah kita. Jadi, bukan justifikasi ala yurisprudensi (fiqh) dengan keragaman dalil naqli yang akan diajukan, tapi rasionalisasi tentang yin-yang (feminin-maskulin) yang bersifat niscaya pada segalanya, tak terkecuali Pencipta alam itu sendiri.

TUHAN DAN SEMESTA

Annemarie Schimmel pernah mengutip pandangan Rudolf Otto untuk menjelaskan Numen (Ilahi), yang memanifestasikan DiriNya dalam dua bentuk: mysterium tremendum dan mysterium fascinosum, yang pertama simbol dari keagungan (jalal) dan yang terakhir adalah isyarat  keindahan  (jamal);  qahr (memaksa)/lutf  (lembut),  muhyi (menghidupkan)/mumit

(mematikan), dan hal sejenis.

Tidak   sulit   bagi   kita   membenarkan   anggapan   bahwa   yin  (feminin)   dan   yang (maskulin) adalah lokomotif bagi kehidupan. Sebab hanya dengan penyatuan keduanya eksistensi   kita   dipertahankan,   misalnya,   dengan   systole dan   diastole jantung,   dengan menghirup atau menghembuskan nafas, bahkan kinerja listrik pun juga bertumpu pada dua kutubnya, dan hal lainnya. Jadi kesempurnaan hidup selalu mengandaikan analekta harmoni dari keduanya

Bagaimana dengan Tuhan? Oh, tentu! Tuhan yang Mahasempurna (kamal/mysterius transendum) karena  Dia  adalah  Pribadi  yang  memiliki  mysterium tremendum   (jalal)  dan mysterium fascinosum (jamal). Mari mencuri dengar apa yang disinggung Kitab Suci:

قل اعوذبربّ الناس. ملك الناس. اله الناس

Kata  rabb  an-nas  adalah   bentuk  sebutan   untuk   Tuhan  karena   tindakan  (af’al) mencipta, merawat dan memelihara manusia—bahkan semesta. Hal ini menunjukkan sifat lemah-lembut yang merepresentasikan jamal (yin/feminin). Sedangkan malik an-nas adalah gambaran betapa Dia berkuasa, melakukan apapun yang Dia kehendaki (fa’al lima yuriidu), menjadi Raja bagi semesta. Ini merupak representasiNya sebagai Dzat yang memiliki sifat jalal (yang/maskulin). Dan karena dua sifat tersebut  bermuara  padaNya,  Ia menjadi  Sang Mahasempurna (kamal/mysterium tremendum): berkuasa-bijaksana; cinta kasih-hebat.

Tidak  hanya  itu,  bahkan  Tuhan  juga  menegaskan  bahwa  Dia  menciptakan  segala sesuatu berpasang-pasangan (QS. Yasin [36]: 36), semisal ‘arsy dengan kursy, qalam dan lauh mahfudz, surga  dan  neraka,  langit  dan  bumi,  siang  dan  malam  dan  seterusnya.  Artinya, keharmonisan  sebagai  sistem  kosmik  merupakan  keniscayaan.  Mengganggu  yang  satu, berarti merusak lainnya. Ibarat sebuah syair, “yang tertusuk padamu, berdarah padaku.”

Memperjuangkan Feminisme

Dengan  demikian,  masih  relevankah  memperjuangkan  feminisme?  Saya  pikir  kita tidak perlu memberikan jawaban terhadap pertanyaan beginian.  Boleh merendahkan atau menyepelekan   kaum  wanita,   jika  yang  dihasrati  adalah  kepunahan   manusia.   Namun demikian, sistem kosmik bukan hanya soal penyatuan dua hal yang berbeda, namun juga ditimbang dari proporsionalitasnya. Ketidakseimbangan terjadi jika yang satu hendak mendominasi,  mengakuisisi  dengan  meminimalisir  atau  bahkan  memusnahkan  yang lain sama sekali. Hasrat inilah yang menjadi muasal terjadinya ketimpangan dan harus sama- sama diperhatikan. Partriarki dimusuhi oleh kaum feminis karena dianggap menghegemoni mereka,  tapi  jika  upaya  ini  dibalik—sebagaimana   gerakan  feminis   radikal—maka   tak ubahnya menciptakan “partriarki” baru dengan subjek yang berbeda. Hal  ini tentu tidak sama dengan spirit egaliter yang dijadikan sebagai jalan dan tujuan gerakan pembela feminis.

Nah,  jika  demikian,  apa  problem  utamanya?  Sederhana:  disparitas  (keterpisahan) dalam melihat sesuatu. Jika kita melihat yang lain sebagai bagian dari diri kita, masih tersisa kah keinginan untuk mendominasi atau mengucilkannya? Simpan jawaban ini dalam batin Anda. Semoga bahagia.


Redaktur dari berbagai sumber

Baca juga: