-->
Kembali ke Nalar, Kebebasan, dan Toleransi Islam
Kembali ke Nalar, Kebebasan, dan Toleransi Islam

Kembali ke Nalar, Kebebasan, dan Toleransi Islam

Judul |Reopening Muslim Minds |Penulis | Mustafa Akyol | Penerjemah | Prof. Nina Nurmila, Ph.D. | Penerbit | Noura Books | Cetakan | Ke-1, Januari 2023 | Tebal| 394 Halaman | ISBN |978-623-242-339-8

LPM NUSA - Dalam beberapa dekade terakhir, negara-negara mayoritas Muslim menderita tingkat kekerasan dan otoritarianisme yang tidak ringan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Ahmet T. Kuru mengumpulkan data yang menunjukkan dua pertiga dari semua perang dan sekitar sepertiga dari semua konflik militer pada tahun 2009 terjadi di negara-negara mayoritas Muslim. Selain itu, negara-negara mayoritas Muslim juga mengalami tingkat otoritarianisme yang jauh lebih tinggi, yang berkorelasi erat dengan kekerasan. Meskipun statistik ini memberikan gambaran suram tentang negara-negara mayoritas Muslim di zaman sekarang, negara-negara mayoritas Muslim tidak selalu berkinerja buruk dalam mencapai perdamaian dan pembangunan ekonomi. Mereka jauh mengungguli bangsa Eropa selama empat sampai lima abad setelah penyebaran Islam. Dalam Reopening Muslim Minds, Mustafa Akyol melacak perubahan dalam pemikiran Islam: dari ide-ide yang memunculkan Zaman Keemasan Islam hingga ide-ide yang memunculkan ortodoksi konservatif yang stagnan.

Sarjana lain telah mempelajari berbagai dimensi masalah untuk memahami "Perbedaan Panjang", atau mengapa negara-negara mayoritas Muslim tertinggal dari negara-negara Eropa dalam beberapa abad terakhir. Argumen utama datang dari Timur Kuran dalam bukunya “The Long Divergence: How Islamic Law Held Back the Middle East” buku ini memberikan gambaran bagaimana hukum Islam mempromosikan kemajuan ekonomi dalam beberapa abad pertama setelah penyebaran Islam tetapi menghalangi perdagangan di abad-abad berikutnya yang menyebabkan stagnasi kelembagaan. Teori menonjol lainnya datang dari sejarawan ekonomi Jared C. Rubin dengan buku yang bertajuk “Rulers, Religion, And Riches: Why The West Got Rich and The middle East Did Not” Rubin hendak menjawab pertanyaan kunci mengapa Barat maju dan timur tidak?  Jawabannyanya cukup provokatif dan mengejutkan  karena menurutnya, cara paling murah bagi penguasa untuk mengamankan legitimasi adalah melalui elit agama, elit agama mengamankan kursi berpengaruh di meja perundingan yang mempertahankan institusi yang mencerminkan kepentingan mereka.

Namun teori lain yang semakin penting dalam tema ini adalah tulisan yang diperjuangkan oleh ilmuwan politik Ahmet T. Kuru dalam Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan. Yang menyoroti aliansi Ulama-Negara atau perselingkuhan ulama dengan pejabat negara. Argumen utama di sini memang mirip tetapi lebih spesifik dari pada argumen sebelumnya. Karya Akyol ini sangat penting karena menjelaskan dasar-dasar teologis dan ideologis dari perubahan yang menyebabkan stagnasi kelembagaan (Kuran), legitimasi agama konservatif (Rubin), dan aliansi Ulama-Negara (Kuru).

Akyol mengungkapkan bahwa ada dua aliran pemikiran etis yang dominan dalam sejarah Muslim awal: teori objektivisme etis dan teori perintah ilahi. Ini tentang apa yang menentukan baik-buruknya suatu perbuatan apakah sesuatu baik karena Tuhan menyatakannya baik. Atau Tuhan menyatakan baik karena perbuatan itu memang baik. Teori yang pertama adalah pihak yang mengusulkan bahwa ada kebenaran etis yang dapat kita temukan dengan menggunakan “alasan” pemberian Tuhan. Dalam pandangan ini, kebenaran etis selalu sesuai dengan intuisi moral yang sehat dan interpretasi tekstual yang akurat. Mu’tazilah berada di garis paling depan sebagai pembela teori ini. Sedangkan yang kedua adalah teori yang menunjukkan bahwa kebenaran etis hanya dapat dipastikan melalui perintah Tuhan atau sesuatu baik karena Tuhan menyatakan itu baik seperti yang ditemukan dalam teks-teks agama. Mazhab yang paling terkemuka yang menganut teori perintah Tuhan adalah mazhab al Asy’ari, yang telah diikuti oleh sebagian besar Sunni selama berabad-abad. Implikasi logis dari pengusung aliran atau teori kedua ini cenderung menganut pandangan yang pro terhadap otoritarianisme. Misalnya, al Asy’ari melegitimasi aturan lalim dan mencegah warga untuk terlibat dalam protes yang akan menyebabkan kerusuhan sipil bahkan di hadapan aturan tirani. Teori politik aliran al Asy’ari juga melegitimasi Taghallub atau memperoleh legitimasi untuk menguasai suatu wilayah hanya dengan menguasainya secara paksa.

Sebagai perbandingan, mari kita lihat bagaimana sikap Mu'tazilah dan lainnya yang menerima objektivisme etis, mereka menolak legitimasi penguasa lalim yang memerintah wilayah hanya karena menaklukkan mereka. Bahkan, beberapa Mu'tazilah menentang keras, dan menegaskan bahwa penghapusan otoritas politik hierarkis dapat menguntungkan otoritas politik yang lalim. Saat ini, sedikit sekali orang-orang yang mau berpandangan seperti Mu'tazilah di dunia ini, orang-orang cenderung berpandangan seperti aliran al Asy’ari.

Akyol menegaskan bahwa mazhab al Asy’ari “meraih kemenangan dalam percaturan teologi  bukan karena kemampuannya, tetapi karena dukungan dari negara-negara yang memerintah dunia Muslim abad pertengahan” (hlm. 139). Meskipun di sepanjang buku ini, Akyol menekankan suara dan gagasan para teolog dan filsuf Muslim, seperti Mu'tazilah, dan Murji'ah, yang berpotensi mempertahankan negara-negara mayoritas Muslim pada tren kemajuan. Akyol tidak menyiratkan bahwa al Asy’ari harus dibungkam, sama sekali tidak. Dia hanya menyarankan, "Muslim seharusnya memelihara pluralitas gagasan, sehingga aliran yang berbeda ini dapat terus berdialektika untuk belajar dari satu sama lain dan juga untuk menyempurnakan diri mereka sendiri" (hal. 231).

Pendekatan Akyol memiliki banyak kekuatan. Dia merangkul sifat multi-kausal dari masalah ini. Dia membahas beragam masalah teologis, hukum, politik, dan sosial tetapi menunjukkan bagaimana masalah ideologis mendasari semuanya. Berbeda dengan karya-karya lain yang cenderung mengelompokkan ke dalam satu fenomena atau satu dimensi dari pertanyaan yang ada, Akyol mensurvei daftar panjang perubahan teologis dan fikih Islam yang memiliki kekuatan dalam menjelaskan kebangkitan ortodoksi konservatif.

Kekuatan lain dari buku Akyol adalah ia juga menyajikan beberapa kasus dalam sejarah Muslim dari para sarjana dengan berbagai latar belakang yurisprudensi dan teologis yang menganjurkan perdamaian, pluralisme, kebebasan ekonomi, dan kemudian menantang status quo otoriter. Dia menekankan bahwa ide-ide ini tidak asing bagi Islam dan di beberapa titik menjadi arus utama. Pendekatan multi-kausal Akyol juga membuka pintu dan menjadi celah bagi kelemahan buku ini. Bayangkan saja, buku ini membahas berbagai subjek kontroversial dengan implikasi kolosal tetapi melewatinya dengan cepat. Salah satu isu yang sangat layak untuk dicermati adalah peran “nalar” dan marginalisasi “nalar” dalam kebangkitan dan kejatuhan negara-negara mayoritas Muslim. Akyol mengabdikan sebagian besar bukunya untuk menekankan peran positif nalar dan bagaimana marjinalisasinya dalam teologi dan yurisprudensi Islam.

Reopening Muslim Minds adalah sebuah upaya besar. Sulit untuk mendapatkan poin dan retorika yang tepat untuk mempengaruhi mayoritas muslim dengan jumlah terbesar secara positif karena betapa upaya politis dan kekerasan untuk "mereformasi" Islam dan budaya Muslim telah dilakukan. Namun, buku ini akan  memiliki daya tarik yang cukup besar di kalangan Muslim heterodoks dan non-Muslim yang tertarik pada keragaman ideologis dan metodologis dalam payung Islam. Ini memberikan panduan yang sangat baik tentang bagaimana Muslim Modernis dan Liberal menafsirkan kembali tradisi dan preseden sejarah yang mereka bangun. Tradisi reinterpretasi memiliki sejarah panjang dalam Islam, dan Mustafa Akyol menjelaskan bagaimana preseden-preseden ini menyediakan lahan subur untuk membangun fondasi masyarakat liberal.

Perlu disebutkan bahwa pendekatan modernis terbatas karena tidak menggunakan kerangka epistemik yang digunakan Muslim ortodoks untuk memperdebatkan validitas, kebolehan, dan legitimasi pendapat yang berbeda. Oleh karena itu, gagal meyakinkan orang yang pengetahuannya berasal dari dalam kerangka itu. Buku ini adalah salah satu langkah pertama yang diambil ke arah yang benar: menekankan bahwa patologi di negara-negara Muslim adalah produk interpretasi yang diperdebatkan, bukan teks-teks Islam. Apa yang harus diikuti adalah upaya untuk mengatasi masalah ini dari dalam masing-masing aliran pemikiran sehingga argumen baru menarik bagi Muslim ortodoks, yang merupakan sebagian besar Muslim di dunia. Jika kita menginginkan perubahan kelembagaan dalam jangka panjang yang mengakomodasi keragaman intrinsik dalam tradisi Muslim dan kondusif bagi dunia Muslim yang lebih damai, lebih bebas, dan dinamis, kita harus berbicara dalam bahasa kebanyakan Muslim yakni bahasa tradisi.

‘Ala kulli hal, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca. Sesuai judulnya, misi buku ini adalah “membuka kembali pikiran Muslim”. Boleh jadi setelah membacanya pikiran kita  benar-benar akan terbuka, atau boleh jadi juga kita akan memandang bahwa kritik Akyol kurang tepat sasaran. (*) 


*Hanif Muslim, Mahasiswa Studi Islam Interdisipliner Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

Baca juga: