Pada zaman baheula di negeri sono yang jauh sedang ada perdebatan. Hal ini terdiri dari tiga orang: moderator, kubu akal, dan kubu agama. Mereka sedang serius ngomongin soal kebenaran, mana yang paling benar apakah agama atau akal sehat?
Kubu akal: “pastinya akal-lah yang dapat menjadi sarana menemukan kebenaran—dengan alasan bla, bla, bla”
Moderator menjawab: “kukira yang kamu katakan itu benar”
Kubu agama: “enggak dong. Agama yang paling betul—dengan alasan bla, bla, bla”
Moderator menjawab lagi: “yang kamu katakan juga benar”
Tulisan ini bakal menyinggung salah satu isu yang dibicarakan dalam cerita tadi, yakni mengenai tentang akal, atau sebut saja pembahasan yang berhubungan dengan akal. Namanya ialah logika.
Apa itu logika? Secara simpel logika adalah semacam kaidah-kaidah berpikir yang benar dan terukur. Lebih lanjut, aktivitas berpikir yang dilakukan manusia itu ada dua macam: pertama, berpikir sebagaimana harusnya. Kedua berpikir sebagaimana adanya. Nah logika itu termasuk kategori berpikir sebagaimana harusnya. Jadi mau enggak mau bila engkau ingin berpikir yang benar, terukur dan runtut niscaya butuh logika dan mengerti logika.
Selain itu, saya bermaksud menyoroti buku “otak-atik otak” milik kawan saya, Hanif Muslim. Terus terang saja penulis buku ini teman belajar saya di kampus. Entah kenapa tiba-tiba saja saya disuruh me-review buku miliknya.
Saya mau menyatakan bahwa tulisan ini barangkali semacam hasil pembacaan saya terhadap buku milik kawan saya itu. Topik pembahasan yang saya angkat paling enggak meliputi dua hal: pertama mengenai buku. Kedua mengenai problem berpikir.
Bagian pertama, mengenai buku. Secara umum buku ini hendak menyuarakan tentang urgensinya bernalar dengan benar. Adapun cara berpikir yang benar itu butuh ilmu logika. Tapi pertanyaannya mengapa logika? Pertanyaan seperti itu sama halnya mengapa akal pikiran? Mengapa kita perlu akal pikiran?
Jawaban simpelnya ialah akal sebagai sarana menemukan kebenaran. Hal ini seperti yang dikatakan di muka—akal dapat digunakan untuk menemukan kebenaran. Alasannya sederhana, sebab akal pikiran dapat menangkap kebenaran universal. Maksudnya begini, misal ada yang bilang “setengah itu lebih kecil ketimbang satu”, ini memakai akal. Orang bisa bilang bahwa setengah itu lebih kecil ketimbang satu berdasarkan akal. Dan itu berlaku universal, manusia siapa saja bakal menyetujuinya selagi ia masih waras.
Tidak hanya itu, buku ini mempunyai sisi keunggulan, yakni memakai gaya bahasa populer. Patut dibaca kepada para mahasiswa. Buku ini juga bagus sebab susunan pembahasannya sangat relevan dengan gaya belajar umumnya, yakni diawali dengan perbincangan materi-teori, lalu dilanjut dengan esai-esai pilihan sebagai bahan praktiknya.
Pada bagian isi, buku ini memiliki ke-khasan tersendiri, yang jarang ada dalam buku-buku logika yang lainnya. Ke-khasan itu ialah memadukan antara model pembahasan logika ala Barat dan model pembahasan logika ala Islam. Keduanya tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Pada mulanya logika lahir dari tradisi Yunani (Barat) dan nantinya banyak dikembangkan oleh filsuf muslim tradisi Islam. Jadi di dalamnya memuat istilah-istilah logika tradisi barat juga dicantumkan istilah-istilah logika tradisi islam.
Bagian kedua, problem berpikir. Problem berpikir di sini maksudnya ialah kasus-kasus orang menyalahi, mencueki akal pikiran atau bisa dianggap menyepelekan logika. Kasus itu meliputi dua perkara: pertama, orang penurut. Kedua, orang brengsek.
Apa itu orang penurut? Apakah engkau termasuk ‘orang penurut’? yang sukanya melontarkan seni menurut kala berdebat, berdiskusi dengan orang lain. misalnya, “menurut pak habibi’, “menurut plato” atau ungkpan yang agak religius, “menurut ustadz y”, “menurut kyai x”. Perihal kayak begitu seringkali terjadi, khususnya pada mahasiswa anyar yang baru tahu soal intelektual. Mereka menggunakan jurus andalan ‘menurut’ kala sedang dalam posisi terpepet, dan juga untuk menaklukkan lawan. Memang biasanya lawan jadi mengkeret dan tidak berkutik setelah mendengar seni menurut itu, “wah sudah menurut pak habibi—kalah aku” begitulah reaksi lawan.
Namun, apakah iya mesti begitu? Apakah kebiasaan akut menurut ini perlu dilanggengkan? Apakah seni menurut itu pasti benar? Kan enggak!. Saya pribadi tidak serta merta menafikan seni menurut dalam berdiskusi/ berdialog, silahkan saja, tetapi jika kebiasaan akut menurut itu dipakai saya tidak setuju. Mengapa? Seperti yang saya bilang di muka, manusia memiliki akal pikirannya sendiri untuk bernalar dan ditambah sarana pembelajaran logika. Keduanya merupakan anugerah luar biasa manusia yang digunakan untuk menemukan kebenaran.
Seharusnya seni menurut/ gaya menurut itu ditandingi dengan berpikir secara sistematis dan logis. Hal itu dapat diperoleh bila Anda mengerti dan paham logika. Lah, terus mengapa kok tidak mempraktikkan logika khususnya dalam berdiskusi? Buku sudah ada, pikiran Anda punya. Mengapa pula enggak bisa? Ya palingan itu manifestasi kemalasan saja.
Selanjutnya problem berpikir yang kedua, yakni orang berengsek. Apa itu orang berengsek? Saya mendefinisikan orang berengsek ialah orang yang suka mencueki menyepelekan akal sehat dan lebih mementingkan ego personal. Jadi ego pribadi lebih diutamakan ketimbang berpikir yang benar. Misalnya ada kasus begini, “buat apa sih sibuk dengan logika, berpikir kritis, itu sia-sia—tidak menghasilkan uang” atau kasus yang serupa, “lah itu cuma teori, bukan realitanya”. Dua contoh tersebut adalah kategori orang berengsek, orang yang lebih mementingkan egonya ketimbang berpikir-bernalar secara benar.
Orang seperti itu susah dihadapi, mereka keras kepala. Cara berpikir mereka ialah bagaimana caranya egonya dapat terpenuhi dan tidak peduli dengan urusan lain, alih-alih logika, akal sehat saja dicueki. Orang seperti itu saya anggap laksana seorang pengembara yang menafikan peta jalan dan lebih memetingkan kemauannya sendiri. “yang penting aku...” yang penting aku untung” dsb. Padahal dalam urusan hidup secara benar kita perlu:
Menimbang akal budi, memedomani cara bernalar yang benar. Segala urusan, kegiatan kita itu dapat ditimbang berdasarkan akal budi. Nah di sini pula peran akal budi (akal sehat) diperlukan. Katanya sih manusia memiliki akal budi yang menjadi pembeda dengan makhluk lainnya.
Jadi selayaknya manusia memedomani akal budi dalam menjalani kehidupannya, bukan memedomani ego-nafsunya. Jangan-jangan Anda yang suka menuruti ego itu masih kategori binatang atau tumbuhan? Ya saya enggak tahu. Minimal watak Anda beres maka akal Anda jernih dan lurus.
Sekian,...
Manusia menginginkan cara berpikir yang benar
Cara berpikir yang benar memerlukan logika
Dengan begitu manusia memerlukan logika
Penulis | Setiyanto | Editor | Lisaa