Sore itu aku sudah bersiap menunggu kedatangan kereta Api di Stasiun Lempuyangan. Salah satu stasiun andalan ketika hendak pulang ke kampung halaman. Selain jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kontrakanku. Stasiun ini adalah stasiun paling tua yang ada di Kota Jogja.
Aku lihat estimasi waktu di sisi boarding pas tiket butuh waktu enam jam dari stasiun Lempuyangan menuju stasiun Gubeng Surabaya. Seperti biasa kereta yang aku naiki adalah kereta Pasundan, salah satu kereta kasta sudra (untuk tidak menyebutnya kereta kelas ekonomi). Tidak ada yang istimewa dari kereta ini yang ada malah menyebalkan. Tak ada sudut yang estetik yang bisa dipamerkan. Semua sudut dipenuhi tas dan kardus-kardus besar. Penumpangnya rata-rata adalah pria paruh baya, bujang lapuk yang kesulitan mencari kemeja untuk membungkus perutnya. Sekilas melihatnya, anda akan paham betapa pentingnya lari pagi.
Aku duduk di gerbong Ekonomi 4 24 D. Sengaja aku pilih kursi yang dekat dengan jendela untuk melihat sisa-sisa warna jingga matahari yang sudah separuh terbenam di ufuk barat. Usai matahari terbenam tidak ada lagi yang bisa dilihat atau pun dinikmati, gelap gulita tak ada yang tersisa. selain kerlap-kerlip lampu yang terlihat seperti kunang-kunang di kejauhan.
Bunyi mesin dan gesekan antar besi rel kereta terdengar di sana sini di sepanjang perjalanan. Bunyinya sangat mengganggu telinga. Ternyata bunyi kereta tidak semerdu lirik lagu Elvy sukaesih "Juk, gijak-gijuk, gijak-gijuk Kereta berangkat. Kereta itu menembus kegelapan dan gerimis yang sudah sejak sore tadi terlihat tertahan.
Setelah beberapa menit kereta berlalu meninggalkan kenangan dan segala keunikan kota Jogja. Kereta sampai di stasiun Klaten dan berhenti untuk sesaat. Dengan tujuan sekadar untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, orang-orang dengan tujuan Klaten dan sekitarnya turun dan kereta kosong. Gantinya, masuklah emak-emak dan embak-embak yang setelah sekian lama bekerja hendak pulang kampung. Selama dalam kereta embak-embak depan dan belakangku rame sekali. Ada yang mengeluhkan majikannya ada yang curhat suaminya. Pokoknya norak.
Kereta selalu berhenti di setiap stasiun untuk kemudian berlalu begitu saja. Tidak ada yang istimewa semuanya berlangsung biasa. Hingga tibalah di kota Jombang. Kota yang sering disebut-sebut sebagai kota santri. karena ada banyak sekali Pondok Pesantren di kota kelahiran Gus Dur ini.
Seperti sebelumnya, kereta kembali berhenti untuk sekadar menurunkan dan menaikkan penumpang. Tapi, ada sesuatu yang berbeda dari penumpang sebelumnya. Dari dalam jendela kereta aku melihat sosok perempuan bercadar mengenakan setelan baju serba hitam di tangannya ada beberapa buku yang dibawanya. Perempuan itu begitu dekat denganku. Sampai-sampai aku bisa menebak buku apa yang sedang ia bawa. Inilah yang membuatku takjub.
Agak musykil jika aku ditanya tentang wajahnya, sebab ia bercadar. Tapi mari kugambarkan padamu, Kawan, caranya membawa buku. Percayalah, aku tak menemukan sesuatu yang lebih indah, selama kuliah di Jogja, dari tekniknya membawa buku.
Perempuan bercadar itu memesona. Ia setengah Peri. Bagaimana ia memperlakukan buku adalah seni yang patut diabadikan dalam kanvas. Pun bukunya tidak sembarangan: ‘THE OLD MAN AND THE SEA’ Novel peraih Nobel Sastra tahun 1954. Kalau tidak keliru sepertinya ia juga membawa ‘HAMLET’ dan ‘OTHELLO’ naskah drama karya William Shakespeare. Aku geleng-geleng kepala, dari mana ia mendapatkan karya-karya sastra itu.
Bidadari itu memegang novel dengan tangan kiri, anggun, diangkat sejajar dalam jarak amat renggang dengan leher laksana nampan perak pada hasta selir kekaisaran Romawi kuno. Keindahan semacam ini sulit dicerna orang awam. Hanya pemahat sekelas Pablo Picasso, atau pelukis tingkat tinggi seperti Michelangelo saja yang mampu menangkap auranya.
Aku menduga wanita itu adalah keturunan asli paling dekat dengan Ratu Balqis. Meski berjam-jam mengamatinya, sampai menit ini aku tak bisa mengungkap dari mana perempuan bercadar ini. Sebab saat ia melenggang di samping tempat dudukku, apalagi ketika menaiki tangga kereta, bumi mendadak berhenti berotasi. Alam hampa dan kereta menjadi beku disergap kekuatan maha dahsyat dari keanggunan titisan Ratu Saba yang tersohor itu. Otakku pun tumpul.
Ketika wajahnya menoleh ke arah jendelaku untuk menaiki tangga, Perempuan bercadar itu berhenti sejenak. Mengangkat sedikit rok panjangnya, sekedar untuk menghindari debu namun tak sampai menampakkan betis. Seper sekian centinya telah ia perhitungkan dengan seksama. Kemudian, seperti kebanyakan makhluk yang sampai pada tingkat nirwana dalam kecantikan, ia menaiki tangga dengan muka tidak perduli, mata menghujam ke depan. Pelan, beradab seakan ia adalah perahu dan tangga itu adalah danaunya.
Pada titik ini tenggorokanku tercekat. Perempuan bercadar yang sampai sekarang tak kutahu namanya itu menginjak anak tangga satu persatu. Tak ada yang terlewat, sebab ia tahu tangga-tangga itu juga tak sudi kalau dilompati olehnya. Maka, jika aku pada masa penciptaan dulu ditawari pilihan antara menjadi Raja Persia yang menguasai separuh bumi atau menjadi anak tangga kereta api, maka dengan senang hati aku memilih untuk diinjaki oleh bidadari itu. Bersambung....
Kereta Api, 27 Desember 2023
Penulis | Hanif Muslim | Editor | Lisa