Hari ini kampus kita yang pada mulanya hanya memiliki dua lantai dan lokasinya masih nomaden dan bertempat dimana-mana. Kini ia sudah memiliki sembilan lantai dan terpadu menjadi satu.
Konon kata Bapak Jokowi 9 lantai ini mencerminkan dari 9 nilai Walisongo. Sebagai anak Ndeso tentu bangga dan senang bisa belajar di kampus yang bisa dengan mudah liat pemandangan yang ada di sekitarnya. Memiliki balkon-balkon estetik, dan dinding yang sudah dimanjakan dengan aneka ragam lukisan yang mencerminkan para mahasiswanya adalah agen yang kreatif dan intelektual gitu. Pokoknya Bangga.
Kata mas Rektor (Itu panggilan akrabnya) dalam waktu dekat ini lantai 2 kampus juga akan disulapnya menjadi tempat dan kantor perusahaan-perusahan besar, seperti Bank BSI, Bursa effect dan perusahaan-perusahaan mentereng lainnya "Tidak apa-apa sekarang kita jadi sekrup industri, besok kita jadi pemegang sekrup industri" Tegas mas Rektor.
Luar biasa sekali bukan? Apa tujuan dari maksud mas Rektor, Tujuannya tidak lain agar teman-teman bisa akrab dengan dunia kerja dan dunia profesionalisme. Sederhananya kalau belum faham hamba coba berikan analogi begini: Agar anak petani jago nyangkul, jago membajak sawah dari sejak kecil ia mesti dilatih dan didekatkan dengan cangkul dan naggala sebut saja kuik dan alat-alat bercocok tanam lainnya.
Tentu hal ini bukan pembicaraan di dunia ideal-ideal semata sudah ada realitas pembuktiannya. Seperti yang diterapkan oleh negeri sparta Yunani tempo dulu. Cuman bukan itu topik tulisan ini (tema ini kita ulas di lembar dan waktu yang berbeda saja dengan instrumen kultural Studies dan lainnya).
Lagi-lagi hamba setuju dan sangat bangga bisa menjadi salah satu butiran debu di antara ratusan mahasiswa yang kuliah di kampus UNU Jogja. Hanya saja kampus megah tidak sinonim dengan kebijakan yang megah, lantai 9 tidaklah otomatis menerapkan nilai-nilai keluhuran Walisongo. Tingginya gedung tidak menjamin akan bisa dengan mudah melihat persoalan dan masalah² yang mendera mahasiswa.
Tulisan ini hanya untuk bertanya prihal janji yang tempo dulu pernah diperdagang-dagingkan kepada khalayak Mahasiswa tentang penyediaan sekretariat atau kantor pada setiap Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun, sepertinya akhir-akhir ini janji itu sudah terdengar sayup-sayup (seperti kentut maling) atau bahkan nyaris tak terdengar lagi. Seperti janji para caleg saja. Hihi
Sejak awal hamba nulis ini saya sudah siap kalaupun nantinya akan dikatakan sebagai mahasiswa yang tak pandai bersyukur, tak pandai menghargai proses, kurang ajar dan komentar sejenis. Tapi tidak apa-apalah toh ini kritik konstruktif. Sebab maksud saya begini. Setiap minggu UKM ada kegiatan perlu tempat, papan dan sejenisnya untuk kegiatan belajar-mengajar, tentu saya yakin kampus megah ini berdiri tidak hanya untuk mengatur kegiatan akademik semata tetapi juga untuk membangun kegiatan-kegiatan non-akademik atau ekstrakurikuler juga, sebagaimana yang tercantum dalam buku pedoman Kemendikbud (Baca: buku panduan kemendikbud).
Lalu, sejauh ini apa sebenarnya yang diperjuangkan oleh kemahasiswaan? Sebelum hamba menulis tulisan ini sebenarnya hamba sudah mencoba menghubungi Direktur kemahasiswaan melalui pesan WA. Namun, tidak ada balasan apapun. "Mungkin sudah ganti nomor atau sedang sibuk memperjuangkan hak-hak Mahasiswa" Batinku.
Tapi pada minggu sebelumnya ketika ingin pinjam ruangan untuk KBM UKM melalui pesan WA masih direspon kalau tidak keliru responnya begini: "Coba tanya pak Anis". Kasus bola ping-pong dan lempar-lemparan tentu sudah menjadi sajian biasa bagi pengurus UKM. Hal inilah sebenarnya yang hendak diminta dan diusulkan oleh tulisan ini. Tolong berikan peraturan atau pedoman (Kebijakan) atau SK Rektor yang mengatur soal pelaksanaan, pelayanan dan penggunaan fasilitas.
Mungkin SK Rektor secara lisan sudah seringkali disampaikan dalam beberapa forum terkait pengggunaan Fasilitas "Ruang meeting lantai 7 pakai saja" Ungkap Mas Rektor dalam sebuah Forum. Tapi, lisan saja tidak cukup perlu upaya dan sambutan serius dari pihak kemahasiswaan.
Semoga saja hal ini sedang menjadi ikhtiar kemahasiswaan, sebab kami juga butuh SK-tertulis yang bisa kami pegang dan perlihatkan pak. Agar semua UKM bisa berproses dan melaksanakan KBM dengan tenang dan aman tanpa takut sewaktu-waktu kelasnya akan dipakai dan diusir. Dengan kebijakan atau SK-Rektor ini hamba menyakini akan membawa semua pegiat UKM pada dinamika dan pendewasaan dalam berorganisasi.
Selain itu jika hal ini diikhtiarkan UKM akan taat administrasi, dan kegiatan Kemahasiswaan akan semakin terjamin, dan sistematis yang terpenting tidak ada kasus "bola ping-pong" Dalam hal administrasi.
Dan yang terakhir, prihal Sekretariat atau kantor UKM, jika dirasa sulit memberikan kantor untuk setiap UKM karena jumlahnya yang tidak sedikit. Sebenarnya, menurut hemat hamba (yang tidak terlalu hemat) bisa diberikan satu saja sebagai pusat kegiatan UKM. Dan menurut kabar burung ruang yang di belakang itu mau dijadikan sebagai ruang semua UKM. Kalau pun benar demikian adanya. Minimal ada sosialisasinya.
Sayangnya, sependek pengamatan hamba ruang itu hingga detik ini hanya digunakan oleh UKM Musik, dan ruangnya juga sangat sempit, malah lebih luas dan memadai toilet kampus. (*)
Penulis | Ibrahim | Editor | Lissa