-->
Binatangisme
Binatangisme

Binatangisme

Setelah sekian purnama kepala ini dijejali dan dihujani dengan buku-buku non-fiksi. Akhirnya, sabtu sore hamba sampai dan finish pada halaman terakhir novel Animal Farm karya George Orwell. 

Sebuah kegembiraan bisa menamatkan Novel di tengah-tengah kesibukan kuliah dan godaan dari buku-buku ilmiah (njlimet) yang semakin menjauhkan dan mengaburkan minat baca penulis khususnya pada jenis bacaan naratif, ngalir, sastrawi yang dapat memanjakan sisi-sisi emosional seseorang. 

Meskipun, pada bagian awal novel ini memberikan kesan yang sepintas mirip dengan buku-buku fabel untuk anak-anak. Dan akan   membuat siapapun yang membacanya menjadi sedikit pesimis, tak akan bertahan lama dan awet apalagi menyelesaikannya hingga bagian terakhir. 

Tapi, keyakinan saya pada penerjemah buku ini menolak sederet stereotip rendahan di atas "Tidak mungkin seorang Mahbub Junaidi menerjemahkan buku rendahan," Batinku. Dan benar saja keyakinan itu tidak meleset sedikitpun. 

Setelah disearcing di pencarian mbah google, buku ini memang memiliki popularitas yang tinggi. Saking terkenalnya, di dalam Bahasa Indonesia novel ini sudah diterjemahkan oleh lima orang berbeda, dari tahun berbeda-beda. Yang paling awal adalah terjemahan Joesoef Soe’yb, judulnya menjadi Kisah Pertanian Hewan (1963). 

Adapun novel yang saya baca ini adalah versi terjemahan Mahbub Junaidi, judulnya dia putuskan menjadi Binatangisme. Sekaligus karena Mahbub Junaidilah buku ini saya pilih untuk dibaca.

Buku ini menyajikan satire dan kritik yang begitu tajam dengan penyampaian yang begitu halus dan sulit diterka tumpahnya. Hal ini menunjukkan ketinggian dan keluasan intelektualitas sang penulis. Melalui tokoh hewan, penulis George Orwell dengan leluasa memberikan kritik kemana-mana, di mana-mana dan di nama-nama. 

Ada banyak hal yang sepertinya menjadi sasaran kritiknya meliputi: hegemoni, eksploitasi, tirani, dan tabiat manusia yang mirip hewan atau hewan yang serupa manusia yang pada akhirnya tidak ada pembeda di antara keduanya. 

Novel ini berlatar di Inggris di sebuah peternakan bernama manor, kisahnya dimulai dari si gaek Major yang begitu dihormati di tengah-tengah para binatang lainnya. Sebagai hewan yang dituakan sekaligus paling sepuh. Tidak hanya fisik yang sudah teruji dengan pahit-getirnya segala musim kehidupan, pengalaman dan pelajaran hidupnya sudah berkubik-kubik. 

Di penghujung hidupnya ia ingin mewariskan api revolusi dan api kebebasan pada setiap penghuni kandang melalui pidato dan pesan-pesan terakhirnya. Nampaknya ia tidak mau kehidupan para binatang berjalan begini-begini saja dan senantiasa berada dalam penderitaan dan eksploitasi sang tuan pemilik peternakan. 

"Aku pikir, sahabat-sahabat, tak berapa bulan lagilah kita bisa bersama-sama, dan sebelum ajalku tiba, rasanya menjadi kewajibankulah menyampaikan beberapa kebijakan yang kupunyai. Umurku sudah cukup banyak, dan cukup banyak pula aku berpikir kalau aku lagi menelungkup sendirian di kandang. Bolehlah ku bilang tanpa berpongah diri. Aku sudah paham selak-beluk ihwal hakikat kehidupan, termasuk ihwal dunia binatang" Tutur Major memulai pidatonya.

"Hidup kita ini terbebani kelewat banyak kerja keras. Hidup kita ini amat singkat. Kita dilahirkan, kita dijejali makanan sekadar supaya kita bisa bernafas. Kita dijejali makanan hanya sekadar supaya kita bisa dipaksa bekerja hingga titik akhir kekuatan kita, dan begitu kekuatan kita sudah punah, Maka leher kita digorok dengan cara-cara keji".

"Apakah ini memang menjadi kemauannya alam? Apakah memang sudah semestinya begitu itu? Apakah ini memang garis nasib yang ditimpakan pada kita yang mesti kita Terima dengan kedua belah tangan terbuka lebar?" 

Di atas adalah sedikit kutipan pidato si gaek major, menakjubkan bukan? Retorika, ketinggian sastra dan daya persuasif didukung dengan pengalaman hidup berkubik-kubik si gaek major, telah membebaskan kesadaran naif para binatang dan berhasil mencangkokkan semangat revolusi dan pemberontakan.

Sementara, api revolusi ini senantiasa dirawat dan didihkan oleh dua babi kader teladan major yaitu Snowball dan Napoleon. Berbekal lagu Binatang-binatang Inggris dan pedoman hidup binatang yang diwariskan mediang si gaek Major. Kedua kader teladan ini mampu memompa berkali-kali lipat api revolusi yang dicangkokkan tempo dulu. Dan pada akhirnya perlawanan itu pecah dan membawa kemenangan para binatang atas tuannya (Jones). 

Perang ini kemudian diberi nama dengan "Perang kandang" Yang di kemudian hari selalu dikenang dan diperingati setiap minggunya dengan ritual upacara. 

Setelah meraih kemenangan dan kebebasan sesuatu yang tempo hari dimpi-impikan dan dicita-citakan ternyata tak kalah buruk dan bejatnya. Kebijakan yang dibuat semakin menjauhkan dari sesuatu yang diidealkannya pada suatu dulu. Dua kader terbaik Major yakni Napoleon dan Snowball lupa akan idealismenya. Mereka terlibat konflik dan intrik licik memperebutkan kekuasaan. Dan pada akhirnya hanya menunggu giliran saja kebobrokan sang tua digantikan oleh kebobrokan sang binatang. 

Pada pembabakan ini pembaca akan melihat betapa tajam dan kentaranya tulisan Orwell ini didukung dengan gaya penerjemahan Mahbub Junaidi yang begitu liar dengan diksi menempeleng. Hasrat kekuasaan, kambing hitam, punggawa kekuasaan, demagogi, tirani, dusta, eksploitasi, otoriter dan sejenisnya menjadi sasaran kritik bertubi-tubi buku ini. 

Napoleon adalah tokoh kunci kritik Orwell atas buruknya manusia, ia rela meludahi idealismenya, mengorbankan kelompok dan harga diri para binatang demi kekuasaan yang berorientasi pada perut. Napoleon adalah tokoh yang medekatkan batas dan jarak pembeda antara manusia dan hewan hingga tak terlihat sedikit pun perbedaan antara keduanya. 

Napoleon adalah bentuk kritik bahwa seburuk dan se anjir apapun kekuasan itu didapatkan pada akhirnya penguasa juga yang akan menulis sejarahnya, memperbaiki dan mencari kambing hitam atas setiap inci keburukannya. 

Sequealer, adalah simbol punggawa kerajaan, atau media penguasa ia adalah sosok yang memoles segala aib dan segala kebobrokan penguasa. 

Alhasil, mau sepanjang apapun tulisan ini tetap saja saya tidak akan mampu membawakan isinya yang super menakjubkan. Dan terakhir, selama ada dusta, tirani, eksploitasi dan seterusnya buku ini akan selalu tajam dan relevan untuk dibaca. (*) 


Prsensi | Hanif Muslim | Buku | Binatangisme | Karya | George Orwell


Baca juga: